text
stringlengths
132
2.01k
tags
stringlengths
4
209
label
stringclasses
111 values
Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka | Dalam penelitian itu dijelaskan, luas mangrove di Kepulauan Bangka-Belitung 273.692,81 hektar. Luasanan ini tersebar di Kabupaten Bangka [38.957,14 hektar], Kabupaten Bangka Barat [48.529,43 hektar], Bangka Selatan [58.165,04 hektar], Bangka Tengah [19.150,86 hektar], Belitung [65.658,06 hektar], dan Belitung Timur [43.232,28 hektar].Dari laporan yang sama, pada 2016 didapatkan data jika dari luasan mangrove tersebut, sekitar 204.467,98 hektar mengalami kerusakan. Sekitar 117.229,29 hektar rusak berat, dan seluas 87.238,69 hektar rusak sedang.Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?  Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka Belitung pada Juli 2020, menyebutkan dari luasan mangrove yang tersisa tersebut mengalami kerusakan sekitar 36 ribu hektar. “Jadi selama 20 tahun, mangrove yang menjayakan dan melahirkan peradaban besar di Bangka Belitung rusak,” kata Jessix.Dia memperkirakan, kerusakan tersebut lebih banyak terjadi di Pulau Bangka yang dulunya memiliki luas mangrove sekitar 164.802,47 hektar. Kondisi mangrove di Pulau Belitung seluas 108.890,34 hektar kondisinya jauh lebih baik dibandingkan Pulau Bangka.Apakah kerusakan mangrove tersebut karena aktivitas penambangan timah?“Tidak hanya disebabkan penambangan timah,” katanya.Ada empat ancaman. “Penambangan timah liar atau tambang inkonvensional [TI], pertambakan udang skala besar, perkebunan monokultur skala besar, dan pembangunan infrastruktur.”Wahyu Adi, peneliti wilayah pesisir dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [19/1/ 2021], membenarkan kerusakan baru mangrove [2020] seluas 36 ribu hektar. “Mangrove yang mengalami kerusakan ini umumnya berada di kawasan Pesisir Timur Pulau Bangka,” katanya.Kerusakan ini, kata Adi, bukan hanya disebabkan penambangan timah, tapi juga tambak udang dan infrastruktur seperti pelabuhan.
['masyarakat desa' 'pendanaan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah' 'sawit']
[0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425]
Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka | Baca juga: Bukan Hanya Jembatan Bangka-Sumatera, Ada Juga Rencana Pembangunan PLTN di Sebagin  Berapa luas tambang timah yang sudah diekspolitasi di Kepulauan Bangka Belitung?Jessix menjelaskan, Walhi Bangka Belitung belum mendapatkan data pasti mengenai luasan daratan dan laut yang sudah ditambang timah. Namun, mengutip Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], dinyatakan bahwa sekitar 700 IUP [Izin Usaha Pertambangan] yang beroperasi setelah CnC [Clean and Clear] oleh Korsup KPK.Pertambakan udang yang menggunakan wilayah pesisir [mangrove] saat ini mulai marak di Bangka Belitung. Udang yang ditambak umumnya udang vaname. “Kami belum mendapatkan data pasti, yang rusak maupun masih bagus, tapi pertambakan udang ini jelas menjadi ancaman kerusakan atau upaya restorasi mangrove.”Bahkan, lanjut Jessix, kawasan mangrove yang juga kawasan hutan lindung, yang sudah rusak, justru direncanakan akan diubah menjadi tambak udang. Bukan sebaliknya, dipulihkan atau direstorasi.Rencana tersebut sempat disampaikan Abdul Fatah, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. “Upaya itu hanya menyelesaikan persoalan jangka pendek [ekonomi], sebab Kepulauan Bangka Belitung sangat membutuhkan mangrove yang gunanya mengatasi atau mencegah munculnya berbagai persoalan ekologi yang secara ekonomi kerugiannya jauh lebih besar. Misalnya bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial dan budaya di masyarakat,” kata Jessix.  Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia tahun 2019, luas perkebunan sawit di Kepulauan Bangka Belitung seluas 273.842 hektar. Aktivitas ini secara tidak langsung juga memengaruhi kawasan mangrove. Sebab, sebagian perkebunan sawit berada di belakang mangrove.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'konflik' 'sawit']
[0.9999897480010986, 5.327978669811273e-06, 4.870696557190968e-06]
Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka | Terakhir, terkait pembangunan infrastruktur di Bangka Belitung, seperti pelabuhan dan jembatan. Setelah Pelabuhan Pangkalanbalam Pangkalpinang, Tanjungkalian Muntok, Tanjung Gudang Belinyu, juga dibangun baru yakni Pelabuhan Sadai di Kabupaten Bangka Selatan pada 2011.Selain itu pemerintah Kabupaten Bangka-Belitung juga berencana membangun 20 pelabuhan perikanan pada 2021. Pelabuhan international juga direncanakan dibangun di Pantai Gusung, Kabupaten Bangka Selatan. Sementara pembangunan Jembatan Bahtera Sriwijaya saat ini sudah dalam tahap pembangunan lokasi jembatan di Desa Sebagin, Kabupaten Bangka Selatan.  DAS juga rusakDari empat ancaman tersebut, kerusakan bukan hanya dialami mangrove, juga kawasan DAS [Daerah Aliran Sungai] di Kepulauan Bangka-Belitung. Kepulauan Bangka Belitung memiliki 271 sungai, baik besar maupun kecil. Sebanyak 159 sungai mengalami kerusakan sehingga butuh diperbaiki.Hutan di Kepulauan Bangka Belitung juga mengalami kerusakan. Menurut Erzaldi H Rosman Djohan, Gubernur Bangka Belitung, pada 2017 lalu, dari 657.510 hektar luasan hutan di Bangka-Belitung, sekitar 55 persen mengalami kerusakan atau kondisinya kritis.Kerusakan DAS ini menimbulkan bencana banjir 10 tahun terakhir. Wilayah yang menjadi langganan banjir yakni Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur.Di awal 2021, bencana banjir sudah terjadi di Bangka Belitung. Pertengahan Januari 2021, ribuan rumah warga di Kabupaten Bangka, terendam air. Ribuan rumah itu di Parit Pekir, Air Anyut, Lingkungan Nelayan, dan Lingkungan Sidodadi.  Menenggelamkan BangkaDari berbagai masalah yang merusak dan mengancam mangrove dan DAS di Bangka Belitung, kata Jessix, yang paling terancam adalah Pulau Bangka. “Mungkin sebagian Pulau Bangka terancam tenggelam atau terendam, baik secara harfiah maupun peradaban manusianya.”
['inovasi' 'kebijakan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah']
[0.999991238117218, 4.4677594814857e-06, 4.305404672777513e-06]
Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka | Logika tenggelam atau terendam sebagian, ketika air laut naik dan masuk ke Pulau Bangka, baik karena naiknya permukaan air laut [dampak perubahan iklim global] dan tidak adanya mangrove, disertai hujan deras tanpa ada lagi penampungnya [DAS].“Saat itu, Pulau Bangka menjadi pertemuan air laut dan hujan. Saya percaya sebagian besar wilayah akan menjadi lautan. Jika itu terjadi, peradaban manusia di Bangka juga hilang,” katanya.Terkait hilangnya peradaban di Bangka, juga tetap akan terjadi meskipun Pulau Bangka tidak “tenggelam”. Sebab hilang atau rusaknya DAS dan mangrove menyebabkan tersingkirnya ratusan ribu jiwa masyarakat, yang selama berabad hidup harmonis dengan alam. “Khususnya mangrove, sungai, dan hutan.”   Selamatkan Pesisir Barat Pulau BangkaApa yang harus dilakukan? Jessix berharap, saat ini pemerintah dan masyarakat selain melakukan perbaikan mangrove dan DAS di wilayah Pesisir Timur Pulau Bangka, juga mempertahankan dan menjaga kelestarian DAS dan mangrove di Pesisir Barat Bangka yang relatif masih baik.“Artinya, kita tidak hanya memikirkan bagaimana memperbaiki Pesisir Timur Bangka yang sebagian besar sudah rusak. Kita juga harus menjaga Pesisir Barat Bangka.”DAS di Pesisir Barat yakni DAS Menduk, DAS Kotawaringin, dan DAS Selan yang kondisinya juga masih baik. Masyarakat masih menjadikan tiga DAS tersebut sebagai sumber air bersih, pangan, dan transportasi.Ada 55.080 jiwa warga hidup di 29 desa di Pesisir Barat, yang sangat bergantung dengan tiga DAS tersebut yakni Desa Kota Kapur, Labuh Air Pandan, Mendo, Paya Benua, Penagan, Rukam, Petaling [DAS Menduk]. Kemudian Desa Kotawaringin, Labu, Puding Besar, Saing, Nibung, Tanah Bawah dan Kayu Besi [DAS Kotawaringin]. Selanjutnya Desa Sungai Selan, Sungai Selan Atas, Bangka Kota, Pangkalraya, Romadhon, Lampur, Kerantai, Keretak, Sarangmandi, Munggu, Kemingking, Melabun, Kereta Atas, Kerakas, dan Tanjungpura [DAS Selan].
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan' 'lahan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka | Pesisir Barat Bangka juga merupakan wilayah bersejarah peradaban kemaritiman di Nusantara. Pelabuhan dan permukiman tua di masa sebelum atau sesudah Kedatuan Sriwijaya, seperti Kota Kapur, berada di Pesisir Barat Bangka.Sistem nilai yang tumbuh di masyarakat masih mencerminkan kearifan dengan lingkungan atau alam. Namun, saat ini ada sejumlah ancaman besar ada di Pesisir Barat Bangka. Selain penambangan timah dan perkebunan monokultur skala besar, yang telah mengubah hutan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat di Bangka, juga rencana pembangunan Jembatan Bahtera Sriwijaya.“Pembangunan jembatan tersebut bukan hanya mengubah mangrove di lokasi jembatan, juga memungkinkan hilangnya mangrove dan hutan lainnya sebagai respon pembangunan jembatan tersebut. Sebut saja, jalan darat, pergudangan, pabrik, atau permukiman baru setelah jembatan tersebut dibangun,” kata Jessix.“Jika Pesisir Barat Bangka juga mengalami kerusakan, maka bencana tenggelamnya Pulau Bangka itu sangat mungkin terjadi,” ujarnya.   [SEP]
['inovasi' 'kebijakan']
[0.9999998211860657, 8.479273816419663e-08, 7.769674681412653e-08]
Kerbau Pampangan, Sumber Daya Genetik Menjanjikan di Rawa Gambut | [CLS]   Bila kita mengunjungi Dusun Kuro, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, pasti akan melihat sejumlah kerbau rawa peliharaan masyarakat yang berkubang di rawa gambut.Sekilas, pemandangan ini tampak biasa. Tapi, sesungguhnya kerbau-kerbau itu istimewa. Kerbau pampangan, biasa disebut, berasal dari India yang disilangkan dengan kerbau lokal pada abad ke-19.Di masa Kesultanan Palembang, sekitar awal abad ke-19, sejumlah kerbau ini bersama para pengembalanya didatangkan dari India. Setibanya di Palembang, kerbau-kerbau tersebut dibawa ke Pulau Kuro, dipelihara agar menghasilkan susu. Susu diolah menjadi puan [fermentasi susu kerbau dan gula], yang merupakan makanan mewah di istana Kesultanan Palembang, masa itu“Kuro merupakan dusun tertua di sini. Hampir semua masyarakat yang memelihara kerbau rawa di OKI, Ogan Ilir [OI] maupun Banyuasin, berasal dari Kuro,” kata Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, baru-baru ini.  Kerbau-kerbau ini kemudian berkembang biak, menyebar ke sejumlah wilayah lain di sekitar Pulau Kuro. Atau, pulau lain yang kini terbagi dalam Kecamatan Pampangan dan Pangkalan Lampam di Kabupaten OKI, serta Kecamatan Rambutan di Kabupaten Banyuasin. Sebagian juga, bahkan dipelihara warga di Tulungselapan atau di Kabupaten Ogan Ilir.Berapa jumlah kerbau pampangan? Tercatat, sekitar 2.100 ekor berada di Kecamatan Pampangan dan Pangkalan Lampam. Sementara populasi di Sumatera Selatan keseluruhan diperkirakan mencapai 5.000 ekor. Ribuan kerbau ini digembala di kawasan rawa gambut yang mengelilingi pulau-pulau tersebut.  
['Aparatur Sipil Negara' 'konflik' 'pendanaan' 'politik']
[0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492]
Kerbau Pampangan, Sumber Daya Genetik Menjanjikan di Rawa Gambut | Terhadap potensinya yang menjanjikan, Alex Noerdin, saat menjabat Gubernur Sumatera Selatan, pernah berencana mengembangkannya. Alex menginginkan, rawa gambut di Sumatera Selatan yang mencapai 600 ribu hektar, bukan hanya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tapi juga untuk peternakan kerbau. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikutip dari Berita Pagi, tengah dibangun sentra pengembangan kerbau rawa di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, yang mendapat bantuan APBN.  Simbol keluargaMengapa masyarakat Kuro, Bangsal, dan Mengris yang berada di Pulau Kuro tetap mempertahankan atau memelihara kerbau pampangan? “Di derah lain mungkin memelihara kerbau bertujuan ekonomi semata. Tapi bagi kami, memelihara kerbau sebagai simbol keluarga. Artinya, kerbau akan dijual jika si pemiliknya benar-benar butuh uang seperti mau menyekolahkan atau menikahkan anak. Pendapatan hanya melalui produksi susu. Kalau dijual, tergantung berat, kisaran Rp15-20 juta per ekor,” kata Muhammad Husin, warga Desa Bangsal.  Masyarakat masih percaya, memelihara kerbau sebagai wujud kesetiaan pada Sultan Palembang. “Sebab, sebagian besar kerbau di sini merupakan keturunan kerbau milik Sultan Palembang yang didatangkan dari India dulu,” ujarnya.Kesultanan Palembang memang sudah tidak ada. Tapi, sebagian besar wong Palembang pun masih bisa mengkonsumsi puan. Puan masih dijual Hari Jumat, di Masjid Agung Palembang, harganya kisaran Rp20 ribu per liter.  Asal IndiaBenarkah kerbau rawa di Pampangan maupun daerah lainnya di Kabupaten OKI dan OI berasal dari India? “Setahu kami, dari cerita orangtua atau kakek kami, kerbau ini memang dari Teluk Benggala, India, yang kini masuk wilayah Bangladesh,” tutur Hasan.Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.694/Kpts/PD.410/2/2013 tentang Penetapan Rumpun Kerbau Pampangan, dijelaskan pasti bahwa rumpun kerbau pampangan berasal dari India yang disilangkan dengan kerbau lokal.  
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'mangrove' 'politik']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Kerbau Pampangan, Sumber Daya Genetik Menjanjikan di Rawa Gambut | Ciri-cirinya kepala hitam, leher bagian bawah bewarna putih membentuk setengah lingkaran, tubuh dominan hitam. Sementara, mukanya segitiga pendek agak cembung dan memiliki ruang dahi lebar. Sedangkan tanduknya, pendek, melingkar ke belakang arah dalam.Disebutkan pula dalam keputusan tersebut, kerbau pampangan sebagai kekayaan Sumber Daya Genetik [SDG] Ternak Lokal Indonesia. Kerbau ini mempunyai keragaman bentuk fisik yang khas, dibandingkan kerbau asli dan kerbau lokal lain. Dengan sejumlah penjelasan itu, kerbau pampangan harus dilindungi dan dilestarikan. Nopri Ismi, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, periode 2018. Penulis mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018   [SEP]
['mangrove' 'politik']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Berburu Emas di Pantai Maluku Tengah, Pakar: Bisa Bahayakan Ekosistem Laut | [CLS]      Warga Negeri Tamilouw, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku pada 22 Maret lalu geger dengan penemuan material emas di pesisir Pantai Pohon Batu. Warga pun langsung ramai-ramai menyerbu pantai buat mencari emas. Hingga kini, warga masih menggali pasir dan memecah bongkahan batu yang diyakini mengandung emas.Lokasi emas pertama kali ditemukan Syarifah Arey dan dua orang kakaknya, warga Negeri Tamilouw. Awalnya, mereka melihat ada kilauan lalu coba-coba menyaring dengan wajan. Ternyata mereka menemukan ada kandungan emas.Setelah penemuan itu, warga ramai-ramai ke lokasi gunakan alat seadanya dulang emas.“Awalnya, saya bersama dua orang kaka hanya coba-coba. Kami melihat ada semacam kilauan di pesisir pantai, setelah disaring ada kandungan emasnya,” kata Syarifah dalam video berdurasi 02:10 menit, yang diterima Mongabay.Latif Selanno, warga lain mengaku, sejak lama orang-orang di kampung itu sudah pernah menemukan material emas di sana. Material emas juga ada pada beberapa sungai.“Jauh sebelum Gunung Emas di Pulau Buru, di Tamilouw sudah ada. Bahkan di Tamilouw serpihan batangan dan tidak perlu menggunakan air raksa atau merkuri,” katanya kepada Mongabay. Antisipasi Menyikapi heboh penemuan butiran emas di pesisir Pantai Pohon Desa Tamilouw, Marlatu Leleury, Wakil Bupati Maluku Tengah, langsung intruksikan Sekretaris Daerah (Sekda) Rakib Sahubawa dan Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Roy Siauta turun ke lokasi.Mereka mengecek kabar temuan kadar emas di pesisir pantai, yang sudah menghebohkan khalayak ramai“Sekda dan Kadis Lingkungan hidup sudah saya perintahkan untuk mengecek kadar emas itu,” katanya saat dihubungi Mongbay.  Leleury mengatakan, sempat melewati kawasan itu dan melihat ada keramaian. Meski demikian, dia baru tahu soal butiran emas di sana.“Pas lewat lokasi itu memang ada banyak orang, termasuk anak-anak sekolah. Saya kira ada heboh terkait hal lain,” katanya.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'bencana alam' 'mangrove' 'trivia']
[0.013069942593574524, 0.020550377666950226, 0.966379702091217]
Berburu Emas di Pantai Maluku Tengah, Pakar: Bisa Bahayakan Ekosistem Laut | Berdasarkan informasi, kata Wabub, butiran emas itu terbawa aliran sungai ke pesisir pantai.“Ceritanya dibawa sama aliran sungai. Lokasinya ada di dekat Pohon Batu,” katanya.Pemerintah kabupaten sudah berkoordinasi dengan pemerintah desa dan aparat TNI/Polri guna mengantisipasi agar orang-orang tidak sembarangan pakai alat berat di areal itu.Pemerintah Maluku Tengah, kata Leleury, ikut menurunkan Satuan Polisi Pamom Praja (Satpol PP) untuk berjaga-jaga di lokasi temuan emas.“Untuk koordinasi dengan Dinas ESDM, kita serahkan ke sekda, termasuk dia yang penelitian ke lokasi ditemukan butiran emas,” katanya.Fauzan Chatib, Kepala Dinas ESDM Maluku, baru mengetahui kabar penemuan emas melalui sosial media.“Penemuan emas ini informasinya baru beta (saya) lihat di medsos. Belum ada laporan resmi dari Pemda Maluku Tengah, terkait kebenaran berita ini,” katanya.Menurut dia, sesuai UU Nomor 3/2020, kewenangan pemerintah provinsi bidang mineral dan batubara sudah menjadi kewenangan pusat.Dia juga mengatakan, sudah mengirim video temuan emas kepada Kepala Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Ditjen Mineral dan Batubara KESDM di Jakarta.“Video itu dikirim sebagai informasi awal, sambil menunggu laporan resmi kebenaran berita dari Pemda Maluku Tengah,” katanya saat dihubungi Mongabay. Lepas garis polisiMengantisipasi para petambang yang membludak untuk mencari emas di areal itu, Polres Maluku Tengah memasang police line atau garis pembatas agar dipatuhi para petambang.Garis pembatas itu tak diindahkan, malah dilepas warga. Menurut warga, pelepasan garis pembatas itu lantaran miskomunikasi bukan karena tidak indahkan aturan maupun anjuran pemerintah.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya' 'iklim/cuaca' 'mangrove' 'politik' 'sampah']
[0.979743480682373, 0.01992865651845932, 0.0003278783697169274]
Berburu Emas di Pantai Maluku Tengah, Pakar: Bisa Bahayakan Ekosistem Laut | “Hanya miskomunikasi. Warga mengira garis pembatas itu untuk melarang mereka agar tidak aktivitas. Padahal itu pembatas bagi penambang supaya tidak menggali mendekati bahu jalan,” kata Kamarudin, warga desa.Sebelumnya, pemerintah desa telah mengeluarkan 11 butir larangan bagi para petambang. Larangan ini guna mencegah agar kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di lokasi penambangan emas berjalan baik.Kesebelas butir imbauan ini, pertama, menjaga protokol kesehatan, kedua, menjaga dan menghormati adat istiadat. Ketiga, hormati kebiasaan di negeri setempat.Keempat, waktu pelaksanaan pencarian mulai pukul 08.00-17.00 WIT. Kelima, tidak diizinkan buka pada hari Jumat, keenam, tidak menerima orang per orang yang datang dari luar untuk menambang.Ketujuh, menjaga kesehatan dan tidak diizinkan melakukan aktivitas pada malam hari, kedelapan, masyarakat yang menambang harus mematuhi batas-batas agar tidak terjadi pencemaran secara meluas.Kesembilan, melarang menambang pakai alat berat dan zat kimia berbahaya lain. Sepuluh, meminta kepada masyarakat yang memiliki dusun atau lokasi di Waeloyain dan Sawaleo, agar melakukan kontrol terhadap batas-batas wilayah mereka. Tujuannya, agar tidak terjadi penggalian oleh oknum-oknum tak bertanggungjwab.Kesebelas, pemerintah desa menegaskan, bagi masyarakat dan pengunjung yang gunakan kendaraan roda dua agar tak memarkirkan pada sembarang tempat atau ruas-ruas jalan utama.   Akan ditutup?Mengantisipasi tidak terjadi kerusakan ekosistem laut, pemerintah daerah melalui Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Maluku, bertekad menutup lokasi itu.Fauzan Chatib, Kepala Dinas ESDM Maluku mengatakan, proses penambangan emas di lokasi itu menjadi perhatian serius pemerintah. Dengan temuan emas, katanya, akan menarik masyarakat untuk menambang tanpa izin.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan' 'mangrove' 'penelitian' 'perusahaan' 'politik']
[0.979743480682373, 0.01992865651845932, 0.0003278783697169274]
Berburu Emas di Pantai Maluku Tengah, Pakar: Bisa Bahayakan Ekosistem Laut | “Masalah kemudian timbul, apakah benar itu emas atau tidak, tentu harus melalui suatu penelitian. Kita sudah mengirim Inspektorat Tambang untuk melakukan pengecekan di lapangan,” kata Chatib.Karena itu berkaitan penambangan tanpa izin, dia akan berkoordinasi dengan instansi terkait.“Kenapa harus diamankan, supaya kita mengantisipasi lebih dini jangan sampai terjadi dampak negatif terhadap biota laut dan para penambang itu sendiri,” katanya.Terkait penambangan emas tanpa izin ini, katanya, sudah ada aturan dalam UU Pertambangan Nomor 3/2020 sebagai perubahan atas UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Dalam UU ini, katanya, semua jelas, ada peraturan pemerintah dan lain-lain.Jadi, katanya, lokasi emas di pesisir Pantai Pohon Batu harus ditutup guna mengantisipasi tidak terjadi penambangan liar yang gunakan merkuri, sianida atau zat berbahaya lain. Kalau pakai zat berbahaya, katanya, dapat membahayakan atau murusak ekosistem sekitar.“Kalau sampai kita biarkan memungkinkan kepada pihak-pihak lain bisa memasok merkuri atau sianida untuk penambangan ini. Hingga jauh-jauh hari sudah harus ditutup.” Rawan rusak lingkunganAgustinus Kastanya, pakar lingkungan sekaligus Guru Besar Managemen dan Perencanaan Hutan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, menegaskan, pemerintah daerah harus mengambil langkah sedini mungkin, sebelum areal tambang merugikan orang banyak dan ekosistem laut.“Saya kira, pemerintah harus segera mengendalikan lokasi emas di Negeri Tamilouw. Artinya, antisipasi sedini mungkin oleh pihak-pihak terkait harus diambil,” katanya kepada Mongabay.Dia mengatakan, masyarakat telah menemukan lokasi tambang emas, dan yang jadi kekhawatiran kalau mereka tidak perdayakan dengan baik, akan merusak lingkungan sekitar.
['mangrove']
[0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425]
Berburu Emas di Pantai Maluku Tengah, Pakar: Bisa Bahayakan Ekosistem Laut | “Yang lebih dikhawatirkan jika masyarakat juga ikut menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Karena itu baru, ada baiknya pemerintah melihat itu dengan cepat. Bagaimana langkah-langkah mengatur pengelolaannya.”Sebaiknya, saran Agustinus jangan menambang di pulau-pulau kecil, karena daya rusak terlalu besar. Apalagi, katanya, dengan perubahan daya iklim, seperti kenaikan permukaan laut dan lain-lain.Tambang di pesisir pantai, katanya, bisa merusak ekosistem laut. Pantai rusak, kemudian kenaikan permukaan air laut. Bisa jadi, ada badai-badai yang berdampak jadi abrasi besar.“Di laut itu kan ada ikan dan lain-lain. Kalau rusak, masyarakat juga akan sengsara,” katanya.Kalau emas, katanya, tidak selamanya membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat.  *****Foto utama:  Warga berbondong-bondong mencari emas di Pantai Pohon Batu, Mauluku Tengah. Foto: screen shot video viral  [SEP]
['masyarakat desa' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan']
[0.5002273321151733, 0.01127683836966753, 0.4884958565235138]
Ecocide, dan Amandemen UU Pengadilan HAM | [CLS]   Undang-undang 26 Tahun 2000 (UU 26/2000) tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Kejahatan berat HAM diatur dalam ini terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan genosida (genocide).Kejahatan pidana Internasional dalam Statuta Roma terdiri dari kejahatan perang (war crimes), kejahatan agresi (crime of aggression), genosida (genocide), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime agains humanity). Perluasan genosidaPada 1973, Richard A. Falk, professor dari Princeton University mendapat mandat menyusun kajian dan draf konvensi kejahatan lingkungan hidup dan pemusnahan ekologi sebagai perluasan dari Konvensi Genocide karena aktivitas destruktif seperti perang atau aktivitas ekonomi negara, Iinstitusi privat (korporasi) dan kelompok organisasi.Draf konvensi selesai disusun dan diajukan ke Komisi Hukum Internasional (international law commission) PBB pada tahun sama. Draf konvensi itu berjudul Environmental Warfare and Ecocide: Fact, Apprasial and Proposal, terdiri dari sembilan pasal dan dua protokol lampiran. Draf konvensi ini kemudian dikenal sebagai Konvensi Ecocide.Konvensi Ecocide untuk melindungi bumi dan semua spesies untuk melawan tindakan perusakan lingkungan dan pemusnahan ekologis. Seperti kejahatan genosida, darf konvensi kejahatan ecocide tidak dapat berjalan dengan mulus, banyak negara anggota, termasuk para akademisi dan korporasi yang resisten terhadap kehadiran draf itu.Meskipun tak pernah diadopsi, belakangan jadi pertimbangan oleh Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas ketika mempersiapkan studi untuk Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai keefektifan Konvensi Genocide.Sub-komisi diminta mempertimbangkan penambahan ecocide dan memperkenalkan kembali budaya genosida (culture genocide) ke dalam perluasan Konvensi Genocide.
['masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Ecocide, dan Amandemen UU Pengadilan HAM | Pelapor Khusus Mr Nicode`me Ruhashyankiko menyiapkan penelitian dan menyusun draf tambahan, hasilnya terbit pada 1978. Banyak anggota sub-komisi mendukung, bahwa, instrumen tambahan tentang ecocide untuk segera diadopsi.Bahkan, Komisi Hukum Internasional mengusulkan agar ecocide sebagai kejahatan internasional penting jadi pertimbangan kebutuhan menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta mencegah kolonialisme maupun agresi ekonomi.Konferensi diplomatik PBB di Roma pada 1998, Statuta Roma disepakati dan terbentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC), tanpa kejahatan ecocide sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan manusia. Kejahatan ecocide tak disepakati sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, sebagaimana empat kejahatan internasional lain.  Amandemen Statuta RomaProgram “The Value of Land” yang diprakarsai organisasi Economics of Land Degradation Initiative (ELDI) merilis laporan tentang kerusakan lingkungan yang dialami bumi saat ini.Kerusakan lingkungan dampak kompotisi dan ekploitasi sejak 2000 telah menyebabkan kehilangan 75% nilai sosial dan ekonomi alam yang sejatinya dapat dimanfaatkan manusia.Nilai sosial dan ekonomi alam yang hilang itu diperkirakan bisa mencapai Rp1 miliar per satu kilometer persegi. Satu per tiga dari kawasan di bumi kini rentan terhadap kerusakan lingkungan. Lebih parah, satu per tiga Afrika kini terancam berubah jadi gurun tandus.Untuk mencegah semua itu, April 2011, Polly Higgins memperkenalkan kembali draf proposal tentang kejahatan ecocide ke Komisi Hukum PBB.Proposal ini didedikasikan untuk mengamandemen Statuta Roma agar memasukkan ecocide sebagai kejahatan kelima terhadap perdamaian umat manusia, sebagaimana telah diusulkan sebelumnya.Kalau kejahatan ecocide masuk dalam Statuta Roma, maka kasus kejahatan ecocide dapat didengar di Pengadilan Kriminal Internasional dan membuat para perusak lingkungan baik legal maupun ilegal menghentikan rencananya.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'konflik' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'politik']
[0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634]
Ecocide, dan Amandemen UU Pengadilan HAM | Higgins mendefinisikan ecocide sebagai “perusakan yang luas, kerusakan atau hilangnya ekosistem dari suatu wilayah tertentu, baik oleh agen manusia atau sebab lain, sedemikian rupa hingga kenikmatan damai oleh penduduk wilayah itu telah sangat berkurang.”September 2016, dokumen kebijakan jaksa Mahkamah Pidana Internasional, menyatakan, International Criminal Court (ICC) akan memprioritaskan kejahatan berdampak pada, “perusakan lingkungan hidup (destruction of the environment).”, “ekploitasi terhadap sumber daya alam (exploitation of natural resources)” dan “perampasan tanah secara ilegal (illegal dispossession of land).”Sekalipun dokumen itu belum memperluas yurisdiksi ICC, melainkan memberi penafsiran atau penilaian atas ecocide.Peluang untuk terus mendorong kejahatan ecocide juga mendapatkan dukungan politik dari sejumlah negara anggota di kepulauan seperti Vanuatu, Maldif, Fiji dan beberapa dari Amerika Latin. Amandemen UU Dalam catatan hukum Uni Eropa yang diunggah oleh Environmental Justice Atlas (mapping ecocide), ada 81 aktivitas korporasi dan negara yang masuk katagori kejahatan cultur ecocide, potential ecocide dan ecocide di seluruh dunia.Di Indonesia ada dua titik, berada di Papua. Dalam catatan hukum Uni Eropa keduanya berstatus potential ecocide.Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM makin parah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Eksploitasi sumberdaya alam terus berlangsung tanpa memperhatikan norma-norma keadilan lingkungan, konflik struktural, pelanggaran HAM, dan kemiskinan.Saat ini, Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan UU Minerba dan terus membahas RUU Cipta Kerja, padahal publik jamak berpendapat Undang-undang dan RUU itu merupakan liberalisasi tanah dan sumber daya alam.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'politik' 'sawit']
[0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189]
Ecocide, dan Amandemen UU Pengadilan HAM | Pada Agustus 2012, siding paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah kejahatan ecocide. Karena memenuhi unsur kategori ecocide yaitu berdampak sangat panjang, luas dan tidak dapat dipulihkan.Namun kejahatan ini tidak dapat diputus sebagai pelanggran HAM berat berdasarkan UU 26/2000, karena UU ini hanya mengakui dua kejahatan berat HAM dari empat kejahatan yang disebut dalam Statuta Roma.Komnas HAM kemudian memutuskan, kejahatan Lapindo bisa sebagai kejahatan berat HAM berdasarkan UU kalau kejahatan ecocide telah jadi kejahatan tambahan dalam UU 26/2000.Langkah yang diambil Komnas HAM saat itu adalah segera mengajukan draf amandemen UU 26/2000 dengan memasukkan ecocide sebagai bagian kejahatan kemanusiaan.Hingga kini, Komnas HAM belum juga mengajukan draf amandemen itu ke pada DPR. Keadaan ini tentu mengecewakan publik terutama bagi korban lumpur Lapindo. Meskipun demikian, lembaga ini telah meletakkan jejak untuk menyuarakan ecocide sebagai kejahatan untuk ditindaklanjuti secara hukum. Penulis adalah aktivis HAM dan lingkungan hidup, Wakil Ketua Komnas HAM 2007-2012. Juga penulis buku: Ecocide: politik kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tanggul lumpur Lapindo. Tragedi lingkungan dan kemanusiaan yang terjadi di Sidoarjo, hingga kini, belum ada penyelesaian. Foto: Petrus Riski/ Mongabay Indonesia   [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'konflik']
[0.007496183272451162, 0.49611595273017883, 0.49638786911964417]
Polling: Indonesia Paling Rasional Soal Perubahan Iklim, AS dan Inggris Ragu | [CLS] Buat anda, yang selama ini masih percaya bahwa orang-orang di negara barat jauh lebih mudah percaya dengan hasil karya ilmiah karena latar belakag pola pikir mereka yang rasional, nampaknya harus berpikir ulang. Hal ini terungkap dalam sebuah survey yang diadakan oleh sebuah perusahaan asuransi dunia bernama AXA bersama dengan lembaga survey Ipsos, yang telah melakukan survey kepada 13.492 orang di 13 negara termasuk Indonesia tentang perubahan iklim.Ternyata, diluar dugaan negara-negara yang selama ini dinilai memiliki standar pendidikan dan keilmiahan tinggi justru menjadi negara yang paling tinggi tingkat keraguan dan ketidak percayaan mereka bahwa perubahan iklim itu telah terjadi dan sudah terbukti secara ilmiah. Tingkat kepercayaan terendah adalah Jepang dengan 58%, disusul oleh Inggris 63% dan Amerika Serkat 65% yang penduduknya yakin bahwa perubahan iklim sudah terjadi dan terbukti secara ilmiah.Siapa negara yang rakyatnya paling percaya bahwa perubahan iklim sudah terjadi dan terbukti secara ilmiah? Indonesia jawabannya! sekitar 95% warga yang disurvei di negara kita yakin, bahwa perubahan iklim ini sudah terjadi dan terbukti secara ilmiah. Disusul oleh Hongkong dengan 89% dan Turki 86%.Survey ini membuktikan, bahwa dengan tingkat pendidikan yang tinggi, banyak warga di Amerika Serikat dan Inggris ternyata masih ragu, bahwa perubahan iklim itu memang sebuah fenomena yang nyata secara ilmiah.Dalam survey ini juga terungkap bahwa kenaikan suhu, kekeringan dan curah hujan yang ekstrem menjadi sebuah fenomena yang paling ditandai oleh warga akan adanya sebuah perubahan signifikan di lingkungan mereka.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'politik']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Polling: Indonesia Paling Rasional Soal Perubahan Iklim, AS dan Inggris Ragu | Selain itu, warga dengan tingkat keyakinan tinggi ini juga percaya, bahwa tingkah polah manusia itu adlah penyebab paling utama atau yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim di dunia. Di Hongkong 94% orang percaya dengan hal ini, disusul Indonesia 93%, lalu Mexico dengan 92% dan Jerman dengan 87%.Dalam survey serupa yang diadakan oleh lembaga Angus Reid terhadap warga Amerika Serikat, Inggris dan Kanada, juga memberi hasil serupa, bahwa orang Kanada ternyata jauh lebih yakin bahwa perubahan iklim itu sesuatu yang ilmiah dan sedang terjadi. Sementara  21% orang Amerika dan 22% orang Inggris masih yakin bahwa perubahan iklim itu ‘cuma teori belaka yang belum terbukti’.Christina Figueres, salah satu pejabat di Persatuan Bangsa-Bangsa mengatakan dalam sebuah konferensi pers terkait hasil polling ini bahwa keraguan seputar perubahan iklim sudah mulai mereda.Survey ini digelar di Belgia, Inggris, Perancis, Jerman, Hongkong, Indonesia, Italia, Jepang, Mexico, Spanyol, Swiss, Turki dan Amerika Serikat. Ajaib, tak satupun dari negara-negara adidaya ekonomi dan politik dunia ini yakin sepenuhnya bahwa perubahan iklim terbukti secara ilmiah. Mungkin mereka tak merasakan dampaknya secara langsung seperti Indonesia yang kehilangan jutaan hektar hutan tropis setiap tahun dan harus berkutat dengan bencana yang semakin tinggi frekuensi dan levelnya. [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'foto' 'hewan terancam punah' 'tambang' 'trivia']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet | [CLS]   Komang Arya, pelajar kelas 2 SMP Sila Candra, Batubulan, Gianyar ini menjaga stannya sendiri. Ada sebuah lemari kaca besar dan meja berisi puluhan kreasi mengolah sampah aneka jenis model dan bahan baku.Ia membuat sendiri semuanya setelah belajar dari teman ibunya saat kelas 5 SD. Bahan bakunya tak sulit karena ibunya membuka Bank Sampah di rumahnya. Arya sudah terbiasa bekerja dalam sunyi. “Teman-teman saya tidak terlalu tertarik,” katanya. Keuntungannya hanya saat pelajaran keterampilan, ia dengan mudah mencari nilai karena sudah terbiasa mengolah sampah jadi aneka kerajinan.Ada yang bisa dibuat dengan mudah, lebih banyak yang cukup sulit dan lama karena perlu ketekunan dan detail. Misalnya yang mudah terjual adalah gantungan kunci dari aneka jenis kemasan yang termasuk bad plastic atau plastik yang tak laku dijual karena sulit didaur ulang jadi plastik baru. Misal kemasan sampo, deterjen, kopi saset, pewangi, dan lainnya. Biasanya plastik ini mengandung lapisan aluminium foil di dalamnya.Ia mengolah sampah nakal ini menjadi bentuk-bentuk hewan seperti ikan. Agar lebih atraktif ditambah manik-manik untuk mata dan anyaman sebagai sisiknya. Dijual Rp5000 per biji. “Saya bisa beli handphone dan lemari sendiri,” Arya bangga.Desain dan pengerjaan lebih rumit di antaranya wadah sesajen dari anyaman kertas koran bekas dan tas. Hasil kerajinan sampahnya terlihat rapi dan kuat. Misalnya tas dari aneka “bad plastic” tebal hanya dianyam tanpa dijahit. Lalu disambungkan tali untuk pegangan tangan. Ia mengaku belum bisa menjahit.Arya adalah salah satu pengrajin sampah di Trash Fest, festival olah sampah yang dilaksanakan kelompok muda atau Yowana Desa Padangtegal, Ubud, Gianyar pada 4-5 November lalu. Dipusatkan di sebuah lahan sebelah Monkey Forest, objek wisata populer di Ubud yang dihuni ratusan monyet dan hutannya.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'perdagangan' 'hewan terancam punah']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet | Beberapa tahun ini Padangtegal memperlihatkan sistem pengolahan sampah terintegrasi. Tiap rumah didorong memilah sampah organik dan anorganik dahulu sebelum diangkut truk milik desa. Termasuk hotel dan restoran yang memadati desa ini. Sampah organik diolah di Rumah Kompos dan TPS Temesi di kota Gianyar yang digunakan untuk menyuburkan hutan monyet ekor panjang di Monkey Forest.  Lingkaran ekologis di Padangtegal ini diperkenalkan lewat stan Rumah Kompos. Ada sebuah video yang ditayangkan berisi kampanye memilih sampah dan mengurangi penggunaan plastik. Pesan ini disampaikan alm Ida Pedanda Made Gunung, mendiang pemimpin ritual agama Hindu yang dikenal kritis dan dihormati.“Ke pura bawa canang pakai plastik? Seperti TPA nanti. Plastik tidak datang sendiri dari langit atau dibawa anjing. Plastik dibuang manusia sendiri, jangan lagi menggunakan plastik,” ingatnya. Ada juga role model Komang Arnawa, juara binaraga yang berkampanye pria sejati buang sampah di tempatnya. Di sini juga dipamerkan tong sampah terpilah dan booklet panduan mengolah sampah organik di rumah. Bisa dijadikan kompos organik cair dan padat.Kadek Sujana, salah satu anak muda dari Yowana Desa Padangtegal penggagas acara ini mengatakan sebagai daerah wisata Ubud harusnya bisa menyontohkan pengelolaan sampah. “Daerah wisata kan wajib bersih,” katanya. Ia sendiri relawan TrashStock, gerakan dengan misi sama di Bali.Anak-anak muda desanya ingin bergerak dalam penyadaran lingkungan ini melalui Trash Fest. Apalagi desanya menurut Sujana sudah menyontohkan pengelolaan sampah. “Ada pemberian penghargaan untuk warga yang rajin memilah sampah, tong sampahnya diisi nama,” tutur pria yang akrab dipanggil Eby ini. Selain masalah sampah, saat ini menurutnya Ubud makin padat karena kemacetan panjang. Jadilah polusi asap jika berjalan kaki di kampung turis ini.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya' 'konflik' 'perdagangan' 'perusahaan' 'politik' 'hewan terancam punah']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet | Karena bersinggungan dengan seni dan budaya, tak heran aneka kerajinan yang dipamerkan di Trash Fest lekat dengan ritual. Misalnya dalam lomba kreasi olah sampah ada kelompok banjar yang buat Barong, purwarupa rangkaian sesajen atau Gebogan, dan ogoh-ogoh (boneka raksasa yang diarak malam jelang Hari Raya Nyepi).Ada puluhan stan produk olahan sampah serta makanan yang dibuat tanpa menawarkan plastik sebagai wadah. Jadilah piring diganti dengan anyaman janur atau daun. Demikian juga sendoknya. Makanan juga lebih sehat seperti sayuran, ketupat, dan lainnya. Namun air kemasan masih dijual di salah satu stan.Selain itu ada juga aneka pertunjukkan fashion show daur ulang yang dibawakan remaja-remaja Desa Padangtegal. Show seperti ini menarik perhatian anak-anak muda yang hadir.  Rumah KomposRumah Kompos dibuat desa persis depan Monkey Forest. Di hutan ini dihuni sekitar 600 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Orang Bali menyebut bojog, dalam bahasa Bali. Warna bulu monyet lucu yang kerap naik ke bahu pengunjung ini keabu-abuan hingga coklat kemerahan. Ada jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidung datar dengan ujung hidung menyempit. Ekornya panjang.Menurut catatan ProFauna, monyet yang umum dijumpai ini tersebar luas di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Statusnya tidak dilindungi. Namun di Desa Padangtegal, Ubud, monyet ini dilindungi. Mereka tinggal di lahan 12 hektar, di pusat keramaian,  salah satu desa turis terkenal di dunia. Mereka membuat Padangtegal kaya. Hutan monyet yang terkenal dengan nama Monkey Forest ini menjadi sumber oksigen di tengah makin macetnya Ubud.
['masyarakat desa' 'energi' 'pendanaan' 'trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet | “Luas hutan terus ditambah, ini pohon-pohon baru umur 10-15 tahun,” kata Murdana, salah satu pengelola. Tak mudah menumbuhkan pohon di habitat bojog ini. “Banyak bibit mati dirusak, dahan dipatahkan  atau dicabut buat mainan.” Monkey Forest punya tim khusus menangani hutan konservasi ini.  Bibit terjaga, kalau rusak segera diganti.Membuat hutan baru dan menumbuhkan dalam waktu cepat memerlukan pupuk. Mereka memutuskan menggunakan kompos agar alami dan tak meracuni habitat bojog.Kalau kompos beli terus, biaya cukup besar. Bagaimana solusinya? Sejak 2013, mereka mulai merintis produksi kompos skala rumah tangga. Tiap warga diminta memilah sampah rumah, lalu mengolah menjadi kompos padat maupun cair. Tak berjalan mulus. Tak banyak yang mau membuat kompos walau desa sudah memberikan tiga tempat sampah gratis.Untungnya,  di Gianyar ada tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi yang mengelola sampah dengan composting. Setelah diangkut dari lebih dari 700 rumah dan restoran, hotel, café, dan usaha lain di desa, sampah organik dibawa ke TPA Temesi. Karena sudah terpilah di truk antara organik dan anorganik, Temesi barter dengan kantong-kantong kompos tiap hari.Rumah Kompos  tak bisa mengolah semua sampah organik karena lahan sempit. Hanya buat model cara pengolahan, misal  petak model composting, petak kecil kebun, dan penampungan sedikit sampah anorganik. “Kami ingin mendidik anak-anak memilah sampah, mengolah sejak dini dan memperlihatkan caranya di sini,” kata Supardi Asmorobangun, pengelola Rumah Kompos.Volume sampah organik terangkut di Padangtegal saat ini disebut sekitar 12-16 ton per hari. Sedangkan non organik 4 truk. Residu plastik dibawa ke TPA Suwung sekitar 2 truk per hari. Supardi menyebut jumlah pelanggan sampah di desa ini per November ini sebanyak 710 warga, 367 di antaranya pengusaha hotel, restoran, cafe, warung, kantor, artshop, dan lainnya.  [SEP]
['bencana alam' 'energi' 'pendanaan' 'penyelamatan lingkungan' 'trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Ini Pesan Leluhur untuk Keselamatan dan Kelestarian Danau Kelimutu | [CLS]  Mentari pagi baru menyinari Bumi Pancasila, kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ribuan pengunjung sejak pagi pukul 07.00 WITA mulai beranjak menuju kawasan Danau Kelimutu, tempat bersemayamnya arwah leluhur dalam kepercayaan masyarakat etnis Lio.Dinginnya suhu tidak menyurutkan masyarakat yang mengenakan tenun ikat etnis Lio dan wisatawan berjalan mengiringi Para Mosalaki dan ketua adat menuju puncak tertinggi berjarak 1,5 kilometer dari areal parkir di bawah.Mereka mengikuti Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata, ritual memberi makan arwah leluhur di danau tiga warna yang berada dalam kawasan Taman Nasional (TN) Kelimutu, Pulau Flores.“Hari ini diadakan ritual adat Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Ritual adat  memberi makan arwah leluhur di danau Kelimutu,” kata Yohanes Don Bosco Watu, Ketua Forum Komunitas Adat Kelimutu kepada Mongabay Indonesia, Rabu (14/8/2019).baca : Eloknya Puncak Kelimutu, Danau Kawah yang Terus Berubah Warna  Ritual tahunan Ka Du’a Bapu Ata Mata itu melibatkan tiga batu tungku atau pemangku kepentingan: Pemkab Ende, komunitas masyarakat adat Kelimutu dan pihak TN Kelimutu.“Ritual adat ini sudah 9 tahun digelar dengan melibatkan  21 komunitas adat. Ada 300-an Mosalaki dari 24 desa di 5 kecamatan sekitar kawasan TN Kelimutu terlibat dalam ritual adat ini,” sebut Don.Dalam Pati Ka, leluhur diberi makan dari hasil pertanian setempat seperti padi (pare). Hal itu dimaksudkan agar tanaman selanjutnya bisa berhasil panen serta lestari bagi masyarakat di sekitar kawasan TN Kelimutu.“Memberi makan, Pare Nake Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata harus menggunakan nasi dari beras merah. Selain itu ada daging babi, trokok dari daun koli dan tembakau. Juga ada air dan arak,” tuturnya.
['inovasi' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'trivia']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Ini Pesan Leluhur untuk Keselamatan dan Kelestarian Danau Kelimutu | Sesajen wajib diletakkan dalam pane –wadah dari tanah liat bulat— dan wati –wadah dari anyaman daun lontar— yang adalah benda alami. Sesajen diletakkan di batu, dipanjatkan doa dan diakhir dengan tarian Gawi, sebagai ungkapan kegembiraan dan kebersamaan.baca juga : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata  Terbaik Nasional   Mikael Omi Mbulu (83) Ria Bewa kampung adat Toba Desa Roga mengatakan mereka percaya arwah leluhur bersemayam di kawah danau Kelimutu sehingga diadakan Pati Ka untuk memberi makan leluhu.“Juga dilantunkan doa meminta berkat atas kehidupan dan hasil panen. Pesan leluhur soal tradisi adat saat bertani dan menjaga kelestarian alam harus terus terjaga,” ungkapnya. Termasuk saat ritual adat Nggua –pesta syukur panen–, diberikan persembahan hasil pertanian bagi para leluhur.Ritual Pati Ka bagi Masyarakat Adat Etnis Lio bermakna antara lain perlindungan anak cucu, menjunjung dan menjaga persatuan, sehati sejiwa dan sehat, pertanian dan peternakan yang subur, serta musim hujan dan kemarau yang baik.menarik dibaca : Yuk, Menengok Berbagai Pesona Keindahan Alam Kelimutu   Diadakan Lebih MeriahWakil Bupati Ende, Djafar Achmad kepada Mongabay Indonesia menegaskan ritual Pati Ka perlu dipertahankan sebagai bentuk hubungan baik masyarakat, pemerintah dan TN Kelimutu. Dan bisa menjadi modal kebersamaan pembangunan daerah dan kelestarian budaya, sekaligus sebagai pengembangan wisata budaya.“Kami berharap kegiatan ini dilaksanakan terus menerus setiap tahun, tetap dipadukan dengan sepekan Pesta Danau Kelimutu,” harapnya.Sedangkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengapresiasi digelarnya Pati Ka dan meminta pelaksanaannya tahun depan dilakukan seminggu penuh dengan lebih meriah“Semua sekolah dan kantor harus tutup dan masyarakat harus terlibat. Pemerintah provinsi akan mendukung dan saya akan ajak Presiden datang ke acara ini,” ungkapnya.
['inovasi' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'trivia']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Ini Pesan Leluhur untuk Keselamatan dan Kelestarian Danau Kelimutu | Djafar mengatakan sejak festival Kelimutu digelar pada 2014, kunjungan wisatawan meningkat dari 26 ribu orang pada 2013 menjadi 54 ribu wisatawan pada 2014.Pada 2017 kunjungan wisatawan meningkat tajam hingga 91 ribu orang, tetapi tahun 2018 menurun menjadi sekitar 47 ribu orang karena kenaikan tiket pesawat terbang.perlu dibaca : Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?   [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'perusahaan' 'politik']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Sadis! 40 Anak Harimau Mati Ditemukan di Mesin Pendingin | [CLS] Empat puluh anak harimau mati ditemukan di sebuah mesin pendingin di kuil Buddha, sebelah barat Bangkok, Thailand, Rabu (1 Juni 2016), sehari berselang setelah 33 harimau yang masih hidup disita dari kuil tersebut oleh aparat setempat. Belum jelas, motif  pengawetan anak-anak harimau tersebut, namun aparat menduga kuil itu terlibat perdagangan satwa liar.Penemuan puluhan anak harimau tersebut bagian dari operasi dan investigasi yang tengah dilakukan aparat Thailand beberapa hari terakhir. Oranisasi pencinta satwa liar dan pemerintah telah bertahun coba hentikan praktik-praktik yang melanggar hukum di kuil itu.Adisorn Nuchdamrong, Wakil Direktur Jenderal Departement Perlindungan Satwa Thailand, sebagaimana dilansir dari Mic.com mengatakan, anak-anak harimau tersebut disimpan di mesin pendingin yang sama yang dipakai untuk menyimpan makanan untuk harimau hidup. “Kuil itu tak pernah melaporkan adanya kematian anak-anak harimau. Ini ilegal.”“Pasti puluhan anak harimau itu dinilai berharga bagi kuil tersebut, tapi saya tak tahu untuk apa” tambahnya.Di mesin pendingin tersebut juga ditemukan satwa terancam punah, yakni binturong (Arctictis binturong), atau sejenis musang bertubuh besar.Wat Pa Luangta Bua Yanasampanno, atau sering disebut sebagai Kuil Harimau, adalah salah satu tempat wisata populer di Thailand, dengan tiket masuk senilai Rp200.000. Di sini, wisatawan bisa mendekat dan berfoto dengan harimau yang ternyata sudah dibius agar jinak. Menurut pihak berwajib Thailand, kuil tersebut mampu mengumpulkan uang senilai sekitar $6 juta per tahun dari penjualan tiket saja.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'politik']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Sadis! 40 Anak Harimau Mati Ditemukan di Mesin Pendingin | Namun, kuil ini juga menjadi buah bibir karena berbagai skandal yang terjadi bertahun. Kuil ini sering melabeli diri mereka sendiri sebagi tempat perlindungan hewan, namun para aktivis satwa menegaskan, kuil tersebut tak lebih sebagai pasar gelap perdagangan satwa. Bahkan, seorang mantan pegawai di kuil tersebut mengatakan, harimau kerap dipukul dan disakiti, dikurung dalam kandang sempit dengan makanan tidak memadai.Kuil Harimau ini juga dituduh menernakkan harimau, mempercepat pembiakan, membunuh, dan menjual bagian-bagian tubuhnya ke pasar gelap. Senin lalu, halaman Facebook Kuil Harimau tersebut me-repost pesan 4 Maret terkait kontroversi ini:“Banyak rumor dan tuduhan yang disebar di internet tentang Kuil Harimau. Selama bertahun, kami tak meresponnya, sebagai salah satu jalan Buddha untuk tetap diam dan melayani perdebatan. Kini, saat begitu banyak orang yang fokus tentang hal ini, saatnya kami merespon. Banyak posting yang menyatakan tentang anak-anak harimau yang hilang, dan menuduh Kuil Harimau menjualnya ke pasar gelap. Ini tidak benar.”The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), badan PBB yang menangani narkoba dan kejahatan menyatakan bahwa kejahatan terkait perdadagangan satwa liar kerap berhubungan erat dengan kejahatan-kejahatan lain yang sangat serius, dan kejam.“Dalam beberapa kasus, uang hasil perdagangan satwa dipakai untuk membiayai terorisme dan menciptakan ketidakstabilan. Kejahatan-kejahatan ini berkaitan dengan pencucian uang, korupsi, pembunuhan, dan kekerasan yang brutal,” sebagaimana penjelasan UNODC dalam situsnya. [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'politik' 'hewan terancam punah']
[0.9996156692504883, 0.00018315522174816579, 0.00020114629296585917]
Perempuan Juga Bisa Bangun Ketahanan Pangan | [CLS]  Perempuan desa sekitar kawasan hutan memiliki potensi dan hak untuk terlibat mengelola hutan dalam hal menghadapi perubahan iklim dan ancaman krisis pangan. Memberdayakan perempuan wajib dilakukan untuk mencapai keadilan gender, bahkan strategis dikembangkan pemerintah desa sebagai program unggulan, agar mendapatkan dukungan pemerintah kabupaten hingga provinsi.Demikian benang merah paparan Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu Guswarni Anwar, Aktivis Perkumpulan LivE/Walhi Bengkulu Pitri Wulansari, dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Fery Murtiningrum dalam “Potensi Keterlibatan Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Untuk Ketangguhan Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan” di Desa Pal VIII, Rejang Lebong, Bengkulu, baru-baru ini.Diskusi melibatkan Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia, Jaringan Perempuan Desa Sekitar TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat), tokoh agama, dan jurnalis.Perempuan juga rentan menjadi korban dampak perubahan iklim seperti kekeringan, kebanjiran, kebakaran hutan, anomali cuaca, hingga ancaman krisis pangan. Di lain sisi, perempuan mempunyai peran penting dalam upaya hadapi perubahan iklim sekaligus membangun ketahanan pangan berkaitan pengelolaan hutan.“Penanaman pohon jenis lokal yang sudah diketahui manfaatnya sebagai penghasil pangan dapat dilakukan bersamaan membudidayakan tanaman pangan di bawah tegakan pohon,” kata Guswarni.
['masyarakat desa' 'politik']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Perempuan Juga Bisa Bangun Ketahanan Pangan | Lulusan doktoral bidang forest science di School of Forest Resources and Environmental Science, Michigan Technological University ini menambahkan, terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: P.6/KSDAE/SET/Kum.1/2018 Tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam telah membuka kesempatan luas pada kelompok perempuan untuk terlibat aktif dalam kemitraan kehutanan dan upaya konservasi hutan.“Potensi perempuan sebagai mitra akan sangat dibutuhkan.”Baca: Menyelamatkan Situs Warisan Dunia Berarti Juga Menyelamatkan Kehidupan Perempuan   Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan, pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan diarahkan untuk menghadapi perubahan iklim. Salah satu prioritasnya adalah ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian, perikanan, serta kehutanan.“Merealisasikan hak perempuan harus dilakukan sebagai bagian mencapai keadilan gender bidang lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Pitri.Dampak perubahan iklim dan ancaman krisis pangan merupakan dua permasalahan yang dihadapi masyarakat desa, khususnya perempuan. Pemerintah desa dapat memberdayakan perempuan melalui upaya pelestarian lingkungan hidup dan pengembangan potensi sumber daya alam. “Memberdayakan perempuan untuk membentuk dan mengembangkan produk unggulan melalui skema kemitraan kehutanan termasuk upaya yang bisa dilakukan pemerintah desa,” terang Fery.Belum satu pun pemerintah desa di sekitar kawasan TNKS memprogramkan pemberdayaan perempuan guna membangun ketahanan pangan. Dukungan Pemerintah Desa Pal VIII terhadap inisiatif KPPL Maju Bersama untuk terlibat mengelola TNKS layak dikembangkan.
['masyarakat desa' 'kebijakan' 'politik']
[0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634]
Perempuan Juga Bisa Bangun Ketahanan Pangan | “Pemerintah desa juga dapat meminta dukungan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi,” kata Fery.   Peran hutan Vira et al (2015) mengungkapkan peran hutan dan pohon untuk ketahanan pangan dan nutrisi, secara langsung maupun tidak. Peran langsung meliputi keanekaragaman, kualitas dan kuantitas makanan, yakni penyediaan pangan berupa buah, sayur, kacang, jamur, pakan ternak, pangan hewani (daging hewan buruan, ikan dan serangga). Juga, jaring pengaman mata pencaharian, yakni pangan untuk masa paceklik dan kelangkaan lainnya, komposisi nutrisi, dan bahan bakar kayu untuk memasak.Peran tidak langsung meliputi produk pohon untuk penghasilan pendapatan, yakni produk kayu, hasil hutan bukan kayu dan hasil pohon agroforestri lainnya. Berikutnya, jasa eksositem berupa penyedia sumber daya genetik, penyerbukan, pengatur iklim mikro, habitat, penyedia air, hingga pengedali hama.Hampir serupa, laporan HLPE (2017) menyebutkan empat saluran utama kontribusi hutan dan pohon untuk ketahanan pangan dan nutrisi, yakni penyedia langsung pangan; bioenergi, terutama untuk memasak; penghasilan dan pekerjaan; serta jasa ekosistem.  Ajak perempuan Inisiatif KPPL Maju Bersama untuk menjadi mitra TNKS bukan sekadar mendapatkan akses pemungutan hasil hutan bukan kayu, tetapi juga ingin melakukan penanaman pohon-pohon lokal yang memberikan hasil.“Bibitnya kami produksi, menggunakan pupuk organik dari kotoran ternak, sekam padi, kulit kopi, dan limbah pertanian,” kata Ketua KPPL Maju Bersama Rita Wati. Selain pembibitan, pupuk organik juga dimanfaatkan untuk sayur-sayuran.
['kebijakan' 'konflik' 'pendanaan' 'hewan terancam punah']
[4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688]
Perempuan Juga Bisa Bangun Ketahanan Pangan | KPPL Maju Bersama akan mengajak perempuan desa mengembangkan agroforestri (kebun campur) di kebun dan lahan sekitar rumah. “Rencana ini mendapat dukungan Kepala Desa Pal VIII, Ibu Prisnawati. Kami sudah mengadakan pertemuan dengan perwakilan ibu-ibu dan perangkat desa untuk menentukan jenis tanaman yang akan dibibitkan. Kami juga berencana, mengajak ibu-ibu melakukan budidaya lebah madu. Kepala desa pun mendukung,” ujar Rita.    Referensi:   [SEP]
['konflik']
[0.01646406203508377, 0.9831623435020447, 0.00037361495196819305]
Kebakaran Besar Musnahkan Lahan Gambut Dumai & Bengkalis | [CLS] Ratna (48) tergopoh-gopoh mengambil air dengan ember kecil dari sumur di belakang sebuah balai pengobatan tradisional di Desa Selingsing, Kecamatan Medang Kampai, Dumai, Sabtu (1/3/2014). Siang itu ia baru saja tiba dari Medan untuk mengobati pasien. Ia berlari bolak-balik mencoba memadamkan kobaran api di lahan gambut yang siang itu sudah terbakar lebih dari 30 hektar.Ia gemetar ketakutan. Ia berlari sambil membawa air yang sudah tumpah di sana-sini sebelum ia sampai di titik api dan menyiramnya. Melihat kepulan asap tebal dan jilatan api di mana-mana, Ratna menangis. “Ambil air itu. Padamkan api yang di sana. Cepat bantu. Di sini banyak anak-anak yang berobat,” jeritnya kepada sejumlah tamu.Api gambut yang membara itu hanya kurang dari 20 meter dari balai pengobatannya yang terbuat dari papan dan plastik terpal. Kepulan asap bukannya semakin berkurang. Tiupan angin ke arah selatan yang menjauh dari balai itu justru mengepul pekat seperti wedhus gembel erupsi Gunung Sinabung.“Kalau di Jakarta badai banjir, di Sinabung badai lahar, di Riau sudah badai api,” katanya kepada Mongabay-Indonesia di lokasi.Pantauan di lapangan, api yang sudah membakar puluhan pohon kelapa sawit itu tak terkendali. Pemadaman hanya dibantu beberapa orang tamunya dengan menggunakan dua ember timba, dua alat penyemprot racun hama yang diganti dengan air gambut, dan dua selang kecil yang berfungsi sesekali.“Tadi ada yang menelpon damkar. Tapi entah kapan mereka mau datang, tak tau lah awak,” lanjut Ratna. Hingga jam 4 sore, kobaran api dan kepulan asap yang sangat pekat itu tidak kunjung berkurang. Akhirnya pasrah tak bisa berbuat apa-apa.
['inovasi' 'penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9994583129882812, 0.00028047917294315994, 0.0002612548996694386]
Kebakaran Besar Musnahkan Lahan Gambut Dumai & Bengkalis | Ketika ditanya asal muasal api, Ratna dan sejumlah tamunya hanya mengatakan api awalnya muncul di bagian paling belakang lahan di belakang balainya. “Awak tak tau dari mana. Tiba-tiba dah sampai ke sini. Katanya api dari belakang sana. Di sana ada karet, sawit dan semak belukar,” ujar seorang tamunya.Bencana kebakaran hutan dan lahan di awal tahun ini paling luas terjadi di sepanjang Jalan Pelintung-Sei Pakning. Sore kemarin setidaknya terdapat tiga titik api yang sama besarnya dengan kobaran di Desa Selingsing. Ada sisa hutan yang terbakar, kebun sawit masyarakat dan kebun akasia.Kemarau yang mengeringkan gambut yang memang sebagian besar telah rusak dan diperparah oleh sulutan api telah membakar kawasan ini yang hingga kemarin setidaknya menyebabkan 221 jiwa mengungsi yang terdiri dari 36 balita, 39 anak usia sekolah dan selebihnya dewasa. Pengungsi ini adalah warga empat rukun tetangga (RT) di Dusun Bukit Lengkung, Desa Tanjung Leban, Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Riau. Sejak tanggal 20 Februari lalu mereka meninggalkan rumah dan lahan perkebunannya yang terbakar.Berikut adalah foto-foto bagaimana api berkobar dan tidak adanya bantuan tim pemadaman dari pemerintah setidaknya 7 jam sejak api mulai membakar lahan dan semak belukar di Selingsing, Medang Kampai Dumai, kemarin sore: [SEP]
['iklim/cuaca' 'inovasi' 'penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9994583129882812, 0.00028047917294315994, 0.0002612548996694386]
Masyarakat Pesisir Bengkulu Tolak Tambang Pasir Besi di Seluma | [CLS]   Puluhan masyarakat Desa Pasar Seluma, Kecamatan Seluma Selatan, Bengkulu, berunjuk rasa dan bermalam di pintu masuk area penambangan pasir biji besi PT. Faminglevto Bakti Abadi, Kamis hingga Sabtu, 28-30 Juli 2022 lalu. Mereka mendesak perusahaan menghentikan penambanganMasyarakat menilai, perusahaan tak mematuhi perintah Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang meminta berhenti beroperasi karena telah melakukan pelanggaran.Perusahaan juga tak mematuhi Surat Edaran (SE) Bupati Seluma, Erwin Octavian, tentang penghentian sementara aktivitas tambang pasir besi terkait penolakan masyarakat Pasar Seluma.“Kami, Koalisi Masyarakat Pesisir meminta perusahaan berhenti operasi, mereka melanggar peraturan pemerintah dan merugikan masyarakat,” kata Elda Nenti, warga Pasar Seluma, saat konferensi pers bersama Walhi Nasional, Senin [01/08/2022].Baca: Tanjung Budi yang Bukan Lagi Lumbung Padi  Pada 22 Juli 2022, Gubernur Provinsi Bengkulu telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada Menteri ESDM, Nomor 540/1317/B.1/2022. Isinya, pertama, meminta Menteri ESDM menurunkan tim untuk meneliti data temuan lebih detil. Kedua, meminta pembekukan dan mencabut izin usaha pertambangan [IUP] PT. Faminglevto Bakti Abadi. Rekomendasi berlandaskan survei lapangan Tim Terpadu Pemerintah Provinsi Bengkulu, Kamis [07/07/2022].Temuan awal tim menunjukkan, ada aktivitas fisik penggalian dan pertambangan dengan adanya alat berat dan penumpukan pasir besi. Ada galian lubang tambang yang ditutup dan ada pembuangan limbah hasil tambang yang dibuang ke Sungai Muara Buluan, mengalir ke laut. Jarak bibir pantai dengan lokasi tambang sekitar 30 meter.“Pelanggaran ini jelas, bahkan Tim Terpadu menyaksikan. Perusahaan harus berhenti,” ujar Elda.Namun, lanjut dia, setelah Surat Gubernur Bengkulu dikeluarkan perusahaan tetap beroperasi.“Mereka menggali dan mengoperasikan mesin pemisah biji besi.”
['iklim/cuaca' 'inovasi' 'penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9999998211860657, 8.479273816419663e-08, 7.769674681412653e-08]
Masyarakat Pesisir Bengkulu Tolak Tambang Pasir Besi di Seluma | Elda menuturkan, pertambangan ini telah menghilangkan mata pencaharian masyarakat Desa Pasar Seluma yang sekitar 300 dari 500-an jiwa merupakan pencari remis. Remis adalah kerang yang hidup di pesisir pantai.“Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak.”Di Seluma, 100 remis ukuran kecil dijual seharga 35-45 ribu. Dalam waktu 4-6 jam, mereka bisa mendapatkan 100-400 remis.“Artinya kami bisa menghasilkan uang sebesar 45 ribu hingga 180 ribu per 6 jam.”Aksi penolakan warga Desa Pasar Seluma ini bukan kali pertama. Akhir 2021 lalu, ibu-ibu dan sejumlah aktivis lingkungan Bengkulu menduduki lokasi tambang tersebut lima hari. Mereka meminta alat berat dan lokasi penambangan disegel.Baca: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan  Melanggar aturanData Walhi Bengkulu menunjukkan, rencana penambangan pasir besi PT. Faminglevto Bakti Abadi, sepanjang 2.400 meter. Lebar ke darat 350 meter dan ke laut 350 meter, dengan luasan 168 hektar di Desa Pasar Seluma, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Bengkulu.Ibrahim Ritonga, Direktur Walhi Bengkulu mengatakan, lokasi tambang berbatasan dengan kawasan Cagar Alam [CA] Pasar Seluma seluas 159 ha yang ditetapkan melalui SK Menhut Nomor 113/Menhut-II/2011.“Cagar alam merupakan kawasan suaka alam karena mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya perlu dilindungi,” kata Ibrahim, menukil UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Baca: Banjir dan Komitmen Pemerintah Bengkulu Menanganinya  Masalahnya, berdasarkan pengambilan koordinat dan analisis spasial yang dilakukan Walhi Bengkulu pada November 2021, diketahui seluas 3,7 ha konsesi perusahaan masuk kawasan Cagar Alam Pasar Seluma.
['masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'nelayan' 'perusahaan' 'politik' 'tambang']
[1.0, 1.3408206767095976e-09, 1.139192851162818e-09]
Masyarakat Pesisir Bengkulu Tolak Tambang Pasir Besi di Seluma | “Ini diperkuat dengan rapat monev KPK Prov. Bengkulu, Lampung, DKI, Banten Jakarta, 20 April 2015, dan pengumuman Kementerian ESDM RI Nomor 1343.Pm/04/DJB/2016 Tentang Penetapan IUP Clear and Clean ke-19 dan daftar IUP yang dicabut Gubernur/Bupati/Walikota,” kata Ibrahim.Artinya, perusahaan tidak atau belum memenuhi syarat, berdasarkan UU 43 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.Tak hanya itu, pesisir Seluma merupakan kawasan rentan bencana. Di beberapa tempat, terdapat bangunan tempat evakuasi sementara [shelter] tsunami yang dibangun dan diresmikan Kementerian PUPR, 23 April 2015. Salah satunya, di Desa Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, sekitar 6 km ke Pasar Seluma.Di Desa Pasar Seluma, tahun 2021, telah didirikan pos Tsunami Early Warning System oleh BPBD Kabupaten Seluma.“Artinya, ada relasi sangat kuat terhadap bencana di sekitar pesisir Kabupaten Seluma,” jelasnya.Baca: Bengkulu Juga Punya Varietas Durian Unggulan  Riwayat perlawananAwal mula penolakan tambang pasir besi di Desa Pasar Seluma, Jumat [19/11/2021]. Ketika itu, lima kepala desa membentuk Koalisi Masyarakat Pesisir Barat guna memberikan dukungan kepada Desa Pasar Seluma untuk menolak pertambangan pasir yang berada di desa tersebut.Penolakan bersama dilakukan karena dampak yang dihasilkan akan mengancam kawasan pesisir dan juga sumber kehidupan masyarakat.Koalisi mengirimkan surat penolakan ke Kementerian LHK, Kementerian ESDM, dan Polda Bengkulu, tembusan KPK, Walhi Nasional, Gubernur Provinsi Bengkulu, Walhi Bengkulu, Bupati Seluma, Dinas ESDM Provinsi Bengkulu, dan Dinas LHK Provinsi Bengkulu, pada 30 November 2021.
['budidaya' 'kebijakan' 'konflik' 'nelayan' 'tambang']
[1.0, 2.7181571229939472e-11, 2.1901744307051274e-11]
Masyarakat Pesisir Bengkulu Tolak Tambang Pasir Besi di Seluma | Bersama Walhi Bengkulu, mereka juga mengirimkan surat kepada Ombudsman Perwakilan Bengkulu, isinya adanya dugaan maladministrasi pertambangan pasir besi PT. Faminglevto Bakti Abadi. Juga, bersurat ke Polda Bengkulu terkait dugaan aktivitas ilegal pertambangan pasir besi perusahaan tersebut.Walhi Bengkulu pun membuat petisi berjudul “Tolak Tambang di Pesisir Barat Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu” di change.org yang telah ditandatangani 430 orang, hingga Selasa [02/08/2022].  [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'konflik' 'tambang']
[1.0, 1.718947317819186e-09, 1.4937721060093168e-09]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | [CLS]     Barto basah kuyup. Pakaian dia jadikan handuk. Barto ke Sungai To’o untuk mandi, puluhan meter dari rumah pondoknya. Di tengah jalan berbatu, bocah enam tahun kepala plontos  itu menggigil. Barto, putra bungsu pasangan  Murtiani dan Hukma. Mereka dikaruniai 10 anak.“Barto itu singkatan dari Baribi To’o, nama tempat lahirnya,” kata sang Ibu buka cerita.Ayah Barto, tetua komunitas yang menamakan diri, Pahou Pinatali, bagian rumpun Suku Kaili Uma. Mereka pemukim pesisir Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit Puluhan tahun lalu, tampang Baras tidak seperti sekarang. Ke sini, mesti tempuh via sungai. Jalan masih lintasan pembalakan kayu, yang menghubungkan ke pedalaman hutan. Rumah-rumah tak semolek sekarang.Gelombang transmigrasi mengubah daerah terisolir di Baras. Ketika kebun sawit masuk, nasib kelompok Hukma, berubah sulit. Lahan yang mereka garap, satu-satunya sumber penghidupan, tergilas perluasan kebun sawit.Barto lahir di Baribi, wilayah berbukit, secara administrasi masuk Desa Towoni, kini disesaki kebun sawit. Baribi jadi medan juang bagi kelompok Hukma yang sejak 2014 kuasai kembali lahan.Murtiani bersama puluhan perempuan lain, bahu membahu, menjaga tungku perjuangan demi merebut kembali tanah leluhur mereka, seluas 1.050 hektar, dari penguasaan PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL). Perusahaan sawit ini anak usaha Widya Corporation.Baca juga: Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit PerusahaanKetika berlawan, perempuan di garis depan, vbergabung bersama para lelaki. Mereka tak gentar. Bila para suami pergi, perempuan berjaga di Baribi. Hidup di pusaran konflik seperti ini, ancaman bisa datang tanpa mereka duga.“Kenapa mau takut? Kita punya kehidupan di sini. Kalau mati, kuburkan saya di sini, depan rumah saya,” kata Murtiani.“Coba bukan kita punya hak, buat apa dipertahankan?”
['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'nelayan' 'perusahaan' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Barto lahir di ruang dapur seluas 4×6 meter, dengan persalinan seadanya. Hari itu, Murtiani gembira sekaligus sakit meredam maut.Ruang dapur itu kini tampak suram, ketika saya berkunjung pada penghujung Juli lalu. Genangan air hujan semalam masih membekas di lantai. Atap rumbia itu tak sanggup melawan hujan deras. Begitu pula dengan dinding papan.Untuk beristirahat, keluarga Murtiani menempati pondok, di seberang bangunan dapur. Sebuah bangunan reot, luas tak lebih 24 meter persegi. Berlantai semen, dengan alas tikar plastik. Tak ada hiasan mewah. Di sinilah, mereka tidur dengan gelaran kasur lusuh.  Warga yang melawan, hidup di pondok kayu yang mereka bangun sejak mulai menduduki lagi. Depan, belakang, kanan dan kiri pondok, rumpun sawit menghampar berbagai arah. Menghadang terik matahari, bikin Baribi lembab.Baribi kembali bak sebuah kampung. Ada warung, dengan geliat warga saban hari. Deretan pondok seadanya selaras dengan nasib penghuninya. Sebagian telah hidup sebagai tuna wisma. Harta terakhir habis tergadai. Beli lauk-pauk saja sudah sulit.Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)Ekonomi mereka tak seperti dulu, ketika kakao yang mereka tanam menebalkan dompet. “Dari awal dikasih tahu, jangan ditebang cokelat (kakao). Itu pembeli beras. Dia (perusahaan) tebang terus,” kata Murtiani.Bagi perusahaan, penghuni Baribi, adalah kelompok perambah, datang setelah hak guna usaha (HGU) terbit. Ketika awal perusahaan merintis hingga mulai beroperasi, kata Muhtar Tanong, Kuasa Direksi UWTL, lahan itu tak pernah jadi masalah.Di Indonesia, sawit semula menghiasi Kebun Raya Bogor, kala era kolonial Belanda. Jadi ‘komoditas’ budidaya pertama kali di Sumatera. Beranjak ke Kalimantan, kemudian Sulawesi—seterusnya hingga Papua. Ia mengubah nasib banyak orang dan hutan tropis di Indonesia.
['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'kebijakan' 'nelayan' 'pendanaan']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Sawit dikenal sebagai tanaman monokultur dan rakus lahan. Kerakusan itu pula antara lain menyebabkan konflik tenurial terjadi di berbagai daerah di nusantara ini. Warga, dan hutan serta lingkungan banyak berujung nestapa.Baca juga: Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam SawitKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mendokumentasikan 69 konflik perkebunan sawit berserakan di Indonesia, sepanjang 2019. Di Sulawesi Barat, belum ada catatan pasti konflik. Instruksi Presiden soal moratorium izin sawit terbit September 2018, yang memandatkan setop izin termask evaluasi izin, tak berjalan optimal.Di Pasangkayu, UWTL menguasai 31% lahan dari seluruh luas Kecamatan Baras itu, dan mengklaim telah mendongkrak perekonomian. “Bandingkanlah kondisi daerah ini tahun 80-an, saat UWTL memulai PIR-Trans, kemudian bandingkan kemajuan di era 90, 2000-an dan sekarang,” kata Muhtar Tanong.“Biarlah, orang yang menyaksikan perkembangan ini menilai.”Sebagian warga yang saya jumpai, tak menampik klaim perusahaan kalau Baras berkembang sejak UWTL datang. Berbeda dengan ungkapan Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar. Dia mengatakan, kontribusi sawit bagi pembangunan provinsi ini minim.Klaim perusahaan juga kontras dengan kondisi warga yang hidup di Baribi. Keluarga Murtiani hidup dari penjualan grondolan sawit. Mereka memilih buah-buah sawit yang jatuh untuk dijual.Saban waktu, Hukma memungut grondolan sampai karung 25kg penuh, di lahan perusahaan—yang bersengketa. Perkarung dia jual Rp50.000. Ketika kami berjumpa, dua karung grondolan laku.Murtiani lekas beli bandeng. Ikan dia panggang untuk santapan makan siang.“Kadang dapat, kadang tidak. Sudah dua bulan baru tadi dapat uang Rp100.000. Ini saja tidak cukup,” katanya.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'nelayan']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Keluarga lain, menyambung hidup dari memanen sawit perusahaan—di lahan yang mereka duduki kembali. Sawit yang mereka panen, dijual ke PT Surya Raya Lestari, anak usaha Astra Agro Lestari. UWTL, kata warga, enggan menerima panen mereka. Di sela kebun perusahaan, warga juga tanam palawija.Perempuan lain, Ase, menjual barang campuran di pondoknya, demi menambah penghasilan suami. Baginya, hidup di Baribi, suatu keharusan. “Sama-sama kita makan, jangan perusahaan saja kenyang kami lapar.”   ***Sejak penghasilan tak menentu. Banyak anak-anak di Baribi terancam tak lanjut sekolah lebih tinggi. Anak Murtiani, memutuskan berhenti kuliah di Universitas Tadulako. Rerata anak perempuan sudah beranak. Orang tua terpaksa mengawinkan anak untuk mengurangi biaya keluarga.Hukma bilang, pernah minta perusahaan jadi mitra atau karyawan.“Sudah saya tanda tangan semua, tetapi perusahaan tidak merespons,” kata Hukma dengan mata berkaca-kaca.Hukma, berharap, jadi mitra tetapi perusahaan mensyaratkan punya lahan jelas. “Prinsip kemitraan adalah, ada calon petani dan calon lahan yang jelas status kepemilikan dan keberadaannya,” kata Muhtar.Di antara perempuan di Baribi, Anna begitu tabah. Cita-cita bersama suaminya, Alex, yang mereka bawa dari Pinrang, Sulsel, kandas. Pasangan ini berencana jadi petani kakao di Sarudu (SP5), Pasangkayu. Kebun yang mereka beli malah tersedot HGU sawit.Kini, pasangan itu melanjutkan hidup di Baribi. Mereka saling menguatkan. Anak Anna menikahi anak Hukma.“Kami tidak mungkin mau tinggal di sini, kehidupan susah seandainya bukan kita yang punya. Itu kenapa mau kita pertahankan,” kata Anna.“Mudah-mudahan pemerintah atau perusahaan mau mengerti. Memenuhi hak kita.”  ***Delapanbelas Maret 2020, di Kapohu, Desa Kasano, masih Kecamatan Baras, pasangan suami istri, Wawan dan Rosni, jalani hari seperti biasa.
['masyarakat desa' 'konflik' 'perusahaan' 'trivia']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Sehari-hari Wawan, bekerja serabutan di bilangan Baras, Pasangkayu. Kadang bantu kawan panen sawit, atau bantu menebang kayu pakai chain saw miliknya. Hasil tak seberapa.Siang jelang sore, Hasan Basri, datang meminta pertolongan Wawan. Rumah mereka saling berhadapan di Kapohu.“Dipanggil tarek mobilnya,” kata Rosni.Petugas keamanan UWTL menahan mobil bak terbuka Basri, di kantor perusahaan di Bulili, Desa Motu, Baras. Malam sebelumnya, mobil pengangkut sawit itu tak kuat menanjak di jalan perusahaan. Petugas keamanan kebun memergoki, menyangka, mobil yang disewakan Basri ke orang lain itu mengangkut sawit curian.Hari itu, Basri ingin mengambil mobilnya. “Pergi mi dulu. Tidak enak juga kita bertetangga begini tidak saling bantu.” Rosni memberi izin.Wawan lantas ikut bersama Basri, membawa sebilah parang. Parang itu kata Rosni dibungkus jilbab miliknya. “Cuman itu ditahu awalnya.”Tak hanya Wawan yang diminta pertolongan. Ada belasan, termasuk putra Basri. Sebagian dari mereka mantan anggota Basri, di pansus, petugas sipil yang bertugas mengawasi kebun perusahaan.Basri berhenti dari pansus karena ada suatu masalah. Setelah keluar, Basri ikut membantu warga yang bersengketa dengan UWTL.Rombongan itu segera melesat ke kantor perusahaan.Basri bersama isteri, Rosmawati, semobil. Yang di mobil, juga bersiap buat menderek mobil yang ditahan, sisanya, naik motor.Di sana, Rosmawati melihat mobil itu terparkir. Semua ban kempes. “Tercabut semua pentilnya.”Basri menanyakan ke petugas di kantor itu. “Tidak tahu, pak,” kata Rosmawati mengulang jawaban orang itu.Basri mengeluh. “Apa salahnya itu mobil dikasih begini. Kayak [dianggap] mobil perampok.”Basri lantas minta petugas keamanan memanggil salah satu pimpinan. “Karena mau dicari jalan keluarnya ini mobil. Kalau memang salah, dipakai mencuri, ada kantor polisi,” kata Rosmawati meniru ucapan Basri.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'perusahaan' 'politik' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9999998211860657, 9.115430543715775e-08, 9.005590584365564e-08]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | “Datang itu sekuriti. Ku bilang mana pak pimpinan? Na bilang tidak mau ke sini.”Rosmawati minta sekuriti itu memanggil kembali. Sang petugas kemanan itupun datang, beberapa menit kemudian. “Dia bilang [pimpinan] tidak ada.”Tak lama, kata Rosmawati, ratusan orang berdatangan, sebagian diduga membawa parang. Mobil pemadam kebakaran yang ikut, menghadang gerbang kantor. “Biar motor tidak bisa lewat!”Situasi tegang itu, kata Rosmawati, tak bikin Basri marah. Menurut orang yang kenal, Basri Kumis, begitu dia dikenal, adalah sosok penyabar dan tenang dan tak kenal takut.Saat itu, ada polisi. Basri, kata Rosmawati sengaja memanggil petugas. Polisi berusaha menenangkan. “Diam saja di sini. Dikawal ki keluar, supaya tidak terjadi keributan,” Rosmawati meniru ujaran polisi itu.“Jadi, bapaknya diam saja.”Kawan Basri, masih sibuk memperbaiki mobil itu. Bergantian, mereka menyembur angin ke dalam ban memakai pompa tangan. Satu ban sama sekali tak mengembang.Hari pun sudah gelap. Gerbang masih terkepung. Rosmawati lalu keluar, mencari air minum. Dia haus, dan segera pulang ke rumah. Di luar, dia berusaha merekam kejadian. Video itu belakangan terhapus.“Tiba-tiba. Kenapa buser (buru sergap, satu bagian di kepolisian) yang datang? Ada yang pakai baju hitam, kayak penangkap teroris. Pakaian lengkap,” kata Rosmawati.Petugas langsung mengangkut Basri bersama kawannya, termasuk anaknya. Parang mereka juga disita.Rosmawati tidak menyaksikan proses penangkapan. Basri menceritakan kemudian hari.Rosni tak tahu, Wawan ditangkap karena apa.  Iring-iringan polisi yang mengangkut rombongan Basri tidak melintas di jalan depan rumah Rosni. Jalan di Kapohu, jalur angkutan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) produksi UWTL dan jalan utama menuju Baras.Ketika warga Kapohu tahu Basri ditangkap, mereka melarang truk pengangkut CPO melintasi jalan kampung.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'lahan' 'perusahaan' 'sawit' 'trivia']
[0.9999998211860657, 7.110257627118699e-08, 6.867904289720173e-08]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Di kantor polisi, polisi periksa rombongan Basri. Delapan orang proses, termasuk Wawan. Anak Basri, dan sebagian lain dilepas. Laporan awal kata Rosmawati, mereka kena tuduhan pengancaman kemudian berubah jadi penguasaan senjata tajam.Rosmawati menduga, laporan terakhir jadi pijakan polisi mengurus berkas perkara sampai ke jaksa.“Tidak bisa dipungkiri itu, karena memang ada bukti, bawa parang. Cuman parang itu tidak dipakai. Tapi, kenapa cuman parang rombongan bapak saja diamankan, dikasih naik ke mobil? Sedangkan, orang ini di luar, bawa parang, kenapa tidak bisa diamankan?” tanya Rosmawati.“Kita ini datang tidak ngapa-ngapain. Tidak mengancam. Suara saja bapak itu tidak pernah besar. Itu mentongji mobil mau dicari jalan keluarnya. Tidak ditahu ada jebakan begini.”Saya bertemu Rosmawati di rumahnya, akhir Juli. Ketika itu, sidang Basri cs bergulir.Pada 16 Agustus 2020, Rosmawati menelpon. Vonis Basri cs sudah putus, awal Agustus. Mereka bersalah, Basri pidana 2,6 tahun, yang lain 10 bulan. Mobil pribadi dan dua lainnya jadi barang bukti. Tuduhan mencuri sawit masih kabur.Dokumen: putusan pengadilan Wawan, dan putusan terdakwa lain.Rosmawati bilang, Basri sedang banding. “Bapak dianggap pemimpin kelompok. Karena mobil itu dia punya. Dia yang mengajak.”Dalam keterangan polisi, Basri dan tujuh warga lain dibekuk karena mengancam karyawan UWTL. Dari kejadian, polisi menyita 13 sajam sebagai barang bukti.Dari versi perusahaan, Basri cs diduga menyerang kantor UWTL, mengancam karyawan dengan menguasai senjata tajam. “Semua telah kami laporkan ke pihak berwajib sebagai wujud taat dan sadar hukum,” kata Muhtar.“UWTL berkomitmen untuk penegakan hukum, siapa melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatan di hadapan penegak hukum.”
['masyarakat desa' 'perusahaan' 'trivia']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Dalam salinan putusan pengadilan, beberapa saksi yang dihadirkan tak melihat Basri “menghunuskan atau mencabut parang” dan tak mendengar Basri dan kawan-kawan “berteriak-teriak.” Sejumlah saksi, mengaku, karyawan perusahaan takut dan hendak meninggalkan kantor. ***Mereka yang dipenjara itu pencari nafkah. Salah seorang ketika ditangkap, umur bayi masih satu minggu. Seorang lagi, punya tiga anak, kini istri mencari nafkah seorang diri, ayam piaraan habis dijual menutupi kebutuhan hidup. Yang lain, pada isteri pulang ke kampung halaman.Rosni, harus memikul beban berat. Sejak Wawan masuk penjara, dia mengasuh empat anak seorang diri. Putra bungsunya sempat demam dan terus bertanya ayahnya. “Saya selalu bilang ke dia, bapak pergi cari uang. Pergi basenso.”Di rumah tahanan, Wawan memikirkan nasib anak dan istrinya. “Seandainya saya bisa mati di sini, saya pukul kepala ku di tembok, saya pikir anak ku,” kata Wawan ke Rosni.Rosni hidup seadanya sejak dulu. Beli beras sekarung pun tak pernah. Kini, Rosni banting tulang mencari nafkah dengan menjual kelapa tua. “Biasa lima hari itu, cuman dapat Rp10.000.”Anak pertamanya putus sekolah menengah pertama, memilih kerja di warung makan, membantu biaya keluarga. Dua putranya masih kecil. Seorang lagi masih sekolah.Sebelumnya, Rosni tinggal di Baribi. Sejak menikah, dia pindah, bangun rumah kayu ukuran 4×6 meter di Kapohu.Rumah itu beratap rumbia, dengan susunan papan sebagai dinding. Kamar dan dapur hanya terpisah dinding papan setebal dua cm. Tak ada listrik, hanya ada aki dan sebutir lampu. Di dapur, ada kompor dua mata dengan gas elpiji tiga kg yang kerap kosong. “Biasa pakai kayu bakar kalau tidak ada uang.”Rumah ini tak ada ruang tamu. Tak ada lemari. Semua pakaian dia kemas ke dalam tas dan bak air plastik.Rosni tidur di kasur sudah lusuh. Anak-anaknya tidur di kasur pegas.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'inovasi' 'penyelamatan lingkungan' 'politik' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu | Dia menyeka air mata, seraya menahan marah. Ada luka dalam menyayat hatinya. Rosni tak bisa berbuat lebih, hanya berserah diri pada Tuhan. “Hanya ini saja yang bisa dibikin.”  Keterangan foto utama: Perempuan memanen sawit di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia   [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'iklim/cuaca' 'inovasi' 'penyelamatan lingkungan' 'politik']
[0.5366199016571045, 0.45439717173576355, 0.008982938714325428]
Beragam Tantangan Jaga Kekayaan Laut Maluku Utara | [CLS]  Pemerintah melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan cukup gencar menindak kapal-kapal asing yang terlibat illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, namun pelanggaran terus terjadi, salah satu di Maluku Utara.“Saat ini, di Malut, tak sedikit nelayan-nelayan asing mencuri ikan dengan teknologi canggih. Kementerian Kelautan sudah bekerja keras. Menteri Susi tak segan-segan menenggelamkan kapal asing di perairan Indonesia tanpa izin,” kata Muhammad Natsir Thaib, Wakil Gubernur Maluku Utara dalam Peluncuran Fair Trade dan Penyusuan Rencana Kerja Tahun II USAID-SEA, di Ternate, pekan lalu.Masalah lain bagi Malut, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) masih lebih rendah dari Sulawesi. Padahal, katanya, ekspor ikan dari Pelabuhan Sulawesi, Maksasar, dan Surabaya dari Malut.“Sudah 15 tahun sumber daya ikan Malut ke luar negeri, namun tercatat sebagai potensi ikan dari Sulawesi dan Surabaya,” katanya.Natsir berharap, kehadiran USAID-SEA dapat membantu menjaga kekayaan laut Malut. Dalam fair trade ada konservasi laut, mendampingi bahkan melatih nelayan Malut mendapat tangkapan ikan berkualitas di pasaran.Celly Catharina, Manajer Program USAID Indonesia mengatakan, kegiatan ini, 70% fokus perikanan lokal dan pengelolaan sumber daya laut di tiga provinsi sasaran yakni Maluku, Malut, dan Papua Barat.Tahun pertama proyek ini di Malut meliputi penyusunan dan analisa data-data perikanan, status sosio-ekonomi, kondisi biofisik, pesisir, serta sumber daya laut.“Serial data dan analisis hal penting bagi proses perencanaan tata ruang laut serta menentukan arah intervensi proyek USAID-SEA tahun II dan selanjutnya,” katanya.Celly mengklaim, pada 2014, kegiatan ini berhasil diterapkan di dunia dan mengangkat reputasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan tangkap.
['kebijakan' 'lahan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Beragam Tantangan Jaga Kekayaan Laut Maluku Utara | “Sejak itu, perikanan di Maluku menikmati keberhasilan proses sertifikasi terutama dalam membangun kesadaran dan kapasitas komunitas nelayan, serta membangun kesadaran lingkungan maupun sosial,” katanyaUSAID-SEA mencatat, 69% luasan Malut atau 145.819 km2 adalah perairan dengan 3.104 km garis pantai. Stok ikan mencapai 1.035.230 ton per tahun dengan produksi 51.000 ton per tahun pada 2011.  Ancaman ekosistem Penangkapan ikan berlebih di Malut jadi salah satu ancaman utama kelestarian sumber daya perikanan terutama praktik perikanan ilegal, tak memenuhi aturan, dan tak terlaporkan.Praktik ini dilakukan nelayan dari negara lain yang menangkap ikan pelagis besar, demersal, dan sampai kerapu ekspor ke sejumlah negara Asia.Ancaman lain, katanya, praktik perikanan merusak, pengambilan terumbu karang, reklamasi, data status sumber daya laut minim, dan sistem registrasi kapal-kapal kecil lemah.Tak hanya itu. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sedikit dan pengelolaan KKP lemah hingga kapasitas dan koordinasi dalam tata ruang laut minim, perusakan habitat laut, serta penegakan hukum lemah.Belum lagi, kapasitas para pemangku kepentingan minim, dan belum ada peraturan perikanan di provinsi menambah daftar panjang ancaman kelestarian sumber daya laut dan perikanan Malut.Celly bilang, proyek ini juga fokus penanggulangan penangkapan ikan berlebih dan praktik perikanan merusak melalui berbagai kegiatan. Baik penelitian untuk menilai status sumber daya ikan, identifikasi tumpang tindih data, evaluasi registrasi, dan sistem pengawasan kapal, serta pengembangan sistem pelacakan kapal.Tantangan tata ruang laut, katanya,  diatasi melalui pengembangan aturan zonasi daerah, sosialisasi tata ruang laut, dan pengembangan sistem pengawasan dan evaluasi.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan' 'lahan' 'hewan terancam punah']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Beragam Tantangan Jaga Kekayaan Laut Maluku Utara | Mengenai penanganan IUU Fishing, katanya, ada kolaborasi peran dengan penegak hukum, dan pengawasan berbasis masyarakat. Penegak hukum, katanya, akan dibekali pelatihan kapasitas soal penanganan IUU Fishing.  Kendala nelayan tangkapRencana Fair Trade and Fisheries Program ini belum sepenuhnya bisa menjawab tantangan nelayan di Malut yang tersebar di beberapa pulau.Ikbal Abdul Saleh, nelayan 46 tahun mengatakan, masih banyak kendala mendapat kualitas ikan yang baik. Kendala itu seperti es sulit, belum lagi listrik sering padam, bahkan mereka harus bersaing dengan nelayan asing.“Kami di daerah jauh dari akses listrik, jadi sulit dapat es untuk menampung ikan,” kata perwakilan nelayan Kelompok Tuna Jaya ini. Serupa dikatakan La Muda, Ketua Kelompok Nelayan Beringin Jaya dari Desa Obi, Halmahera Selatan. Dia keluhkan dari es sampai bahan bakar sulit. “Kendala kami juga bagaimana menangkap ikan kualitas ekspor.”     [SEP]
['kebijakan' 'perusahaan']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Harimau Sumatera Ditemukan Mati di Aceh Timur, Diduga Diracun | [CLS]   Seekor anak harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] ditemukan mati di kebun warga di Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Rabu [22/02/2023].Rahmadan, warga Kecamatan Peunaron, mengatakan harimau ditemukan beberapa puluh meter dari kandang kambing milik warga Desa Peunaron Lama.“Awalnya masyarakat menerima informasi kambing milik Syahril mati diterkam harimau di kandang,” ujarnya, Kamis [23/02/2023].Mendapatkan informasi tersebut, perangkat Desa Peunaron Lama bersama personil Polsek dan Koramil Serbajadi dibantu tim dari Forum Konservasi Leuser [FKL] mendatangi lokasi.“Di lokasi tim menemukan dua kambing mati di luar kandang dan seekor mati di kandang dengan luka robek,” terangnya.Kasat Reskrim Polres Aceh Timur, AKP Arif Sukmo Wibowo menginformasikan, di lokasi kejadian tim juga menemukan bungkusan berisi racun hama tanaman.“Kami menduga harimau mati diracun, namun butuh pemeriksaan mendalam,” katanya.Baca: 16 Bulan Penjara, untuk Pemburu Babi yang Menyebabkan Tiga Harimau Sumatera Mati  Dokter Hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Rosa Rika Wahyuni mengatakan, berdasarkan hasil nekropsi Kamis [23/02/2003], tidak ada bagian tubuh yang hilang. Usianya diperkirakan 1-2 tahun.Tim juga mengambil beberapa bagian tubuh untuk pemeriksaan laboratorium, guna memastikan penyebab kematian.“Saat ditemukan tubuhnya membusuk, diperkirakan telah mati dua atau tiga hari sebelum dilakukan nekropsi,” kata Rosa.Baca: Lagi dan Lagi, Harimau Sumatera Terluka Akibat Jerat  TersangkaKasat Reskrim Polres Aceh Timur menambahkan, pihaknya telah menangkap Syahril, pemilik kambing yang mati diserang harimau.“SY [Syahril] awalnya dibawa ke Polres untuk dimintai keterangan. Saat diperiksa, dia mengaku menabur racun jenis Curater di tubuh kambing yang telah mati itu. Alasannya kesal dan emosi karena ternaknya dimangsa harimau,” ungkap Arif, Senin [27/02/2023],
['kebijakan' 'hewan terancam punah']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Harimau Sumatera Ditemukan Mati di Aceh Timur, Diduga Diracun | Arif menjelaskan, SY ditetapkan tersangka karena telah melakukan tindak pidana dengan sengaja membunuh satwa dilindungi.“Telah melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya,” jelasnya.Baca juga: Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Tersangka Penjual Kulit Harimau  Persidangan mantan bupatiSementara itu, kasus jual beli kulit harimau sumatera yang melibatkan mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi, sudah tahap persidangani di Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Selain Ahmadi, Balai Gakkum juga menangkap Suryadi dan Iskandar.Ketiga warga Kabupaten Bener Meriah, Aceh, itu ditangkap tim Gakkum dan Polda Aceh di Pondok Baru, Kabupaten Bener Meriah, pada 24 Mei 2022, saat hendak menjual kulit dan tulang harimau.Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong pada 2 November 2022, telah memvonis Iskandar 18 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsidair 1 bulan kurungan.Informasi di Website Sistem Informasi Penelusuran Perkara [SIPP] Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong, menunjukkan persidangan terhadap Ahmadi dengan Nomor Perkara: 4/Pid.B/LH/2023/PN Str, sudah digelar dua kali. Kini, masuk agenda pemeriksaan saksi.Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya mengatakan perbuatan Ahmadi melanggar Pasal 40 ayat [2] Jo Pasal 21 ayat [2] huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo. Pasal 55 ayat [1] ke-1 KUHP, pasal 56 dan pasal 53 KUHP.“Ahmadi didakwa sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian bagian-bagian lain satwa dilindungi,” ujar JPU, Selasa [14/02/2023].  [SEP]
['masyarakat desa' 'inovasi' 'lahan' 'pendanaan' 'sawit']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | [CLS]      Revisi Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru usai bulan lalu mengancam keberlangsungan hutan lindung maupun konservasi. Pasalnya, dalam UU mengisyaratkan semua kawasan, termasuk lindung dan konservasi boleh eksplorasi.“Kita kalah total, apalagi daya dukung lingkungan, kalah telak (oleh UU Minerba),” kata Edo Rahman, Wakil Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional, baru-baru ini.Baca juga: RUU Minerba Lanjut di Tengah pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat SipilHutan lindung, katanya, berada dalam kewenangan pemerintah pusat dan minim atau bahkan, masyarakat susah mengaksesnya. Dengan begitu, kemungkinan sedikit atau tak ada warga yang protes eksplorasi karena khawatir berdampak bagi lingkungan mereka.“Dengan izin eksplorasi, akan makin mulus eksplotiasi di kawasan ini,” kata Edo.Tukirin Partomihardjo, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berharap, kemudahan dan kelonggaran eksplorasi di hutan lindung tidak berujung eksploitasi. Eksplorasi, katanya, dapat diterima sebatas memberikan kesempatan untuk mengkaji.“Tapi, ya, selalu seperti buah simalakama, penilaian ekonomi itu lebih dikedepankan daripada konservasi,” katanya. Bertentangan dengan UU KehutananHariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai, Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan jadikan senjata melawan eksploitasi pertambangan di hutan lindung. Dalam UU Kehutanan, dipastikan pertambangan di hutan lindung hanya boleh dalam bentuk pertambangan tertutup.“Terkait pengelolan hutan, semua perspektif harusnya pakai UU 41/99 ini. Karena UU ini belum diubah. Kita tidak boleh bertentangan dengannya,” katanya.Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'perusahaan' 'sawit']
[0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | Dia bilang, pertambangan terbuka seperti batubara ataupun bauksit tak akan bisa kalau mengacu UU Kehutanan. Lain dengan pertambangan emas maupun gas bumi, merupakan pertambangan tertutup.Kondisi saat ini, katanya, mengkhawatirkan lantaran Undang-undang Kehutanan pun masuk prolegnas 2020. Dia belum tahu detil perubahan seperti apa pada UU Kehutanan ini.Dia melihat, kuatnya politik kepentingan melatarbelakangi legislatif dan eksekutif dalam menggenjot UU kontroversial ini. Menurut dia, hanya segelintir orang akan merasakan manfaat dari setumpuk kebijakan ini.Pasal-pasal kontroversial seperti eksplorasi di hutan lindung, katanya, hanya akan menghasilkan efek eksternalitas seperti banjir, longsor dan segala macam bencana yang justru dirasakan rakyat kecil di sekitaran kawasan.“Saya melihat mereka ugal-ugalan (membuat Undang-undang-red), mau menang sendiri aja, gitu lho. Mending kalau mereka yang minta seperti ini adalah orang tidak punya. Di sana itu orang kaya semua,” katanya.  ***Hendra Sinadia, Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia membenarkan kalau UU ini memberikan kepastian hukum bagi pengusaha tambang di Indonesia.Dengan UU ini, katanya, juga memberikan ketegasan hukum bagi pelanggaran dalam pertambangan termasuk pelanggaran lingkungan terkait reklamasi dan pasca tambang.Hendra bilang, kondisi saat ini, permintaan batubara menurun karena wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Negara-negara yang biasa mengimpor batubara dari Indonesia saat ini cenderung memprirotaskan kepentingan nasional masing-masing.Baca: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan PertambanganDampaknya, batubara berlebih (over supply) dan harga diperkirakan bakal terus menurun.“Outlook ke depan kita juga masih bertanya-tanya. Tergantung bagaimana negara-negara ini menyelesaikan pandemi di negaranya,” kata Hendra dalam sebuah diskusi daring.
['masyarakat desa' 'sawit']
[1.0, 8.698417541808112e-10, 8.060540568344265e-10]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), estimasi produksi batubara nasional tahun ini 510 juta ton. Sekitar 66,66% oleh perusahaan pemegang perjanjian karya pengelolaan batubara (PKP2B), sekitar 340 juta ton. Fakta tambang di kawasan hutanM Dedy P Sukmara, peneliti Auriga Nusantara, mengatakan, hasil evaluasi sampai 2018 ada 917 IUP batubara masih aktif dan 829 mendapat sertifikat clean and clear , 88 IUP tak CnC.Berbeda dengan IUP, PKP2B tidak ikut dalam evaluasi KESDM dan tidak wajib tersertifikasi CnC.“Padahal, dilihat aspek luas area dan produksi, PKP2B jauh lebih besar daripada IUP, harusnya juga dievaluasi kinerjanya. Mengingat delapan PKP2B generasi pertama telah dan akan berakhir kontrak kurang dari lima tahun lagi,” kata Dedi.Temuan Auriga, dalam konsesi delapan PKP2B terdapat 59.791 hektar tutupan hutan dan 87.307 hektar lubang tambang yang belum direklamasi, di antaranya, 5.901 hektar dalam kawasan hutan namun tak punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).‘Terdapat potensi pelanggaran kewajiban delapan PKP2B ini. Hingga KESDM harus evaluasi terlebih dahulu.”Menurut Auriga, pemerintah perlu memastikan pembatasan luas wilayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan memastikan tutupan hutan tak termasuk dalam IUPK. Pemerintah juga perlu mengevaluasi dan memastikan kewajiban pemegang PKP2B dan IPPKH dipenuhi termasuk kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP).“Memastikan pemegang PKP2B mendapatkan perpanjangan (IUPK-red) setelah semua kewajiban dipenuhi,” katanya.Dalam konteks politik dan kekuasaan, Yogi Setya Permana, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI menilai, ada dua kata kunci harus jadi bandul dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia. Pertama, kepastian hukum untuk investasi dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.“Ini jadi dua tujuan dilematis,” katanya.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'inovasi' 'trivia']
[0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | UU ini, katanya, muncul tanpa ada diskusi publik secara masif. Pandemi Corona, tak jadi alasan ketika ada urusan kepentingan umum bersama. Dalam website resmi DPR juga tak ada informasi proses penyusunan yang melibatkan publik.Yogi juga menyoroti sentralisasi pengelolaan minerba terkait ketimpangan ekonomi dan pengelolaan dampak tambang.Dalam konteks ketimpangan, katanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10-15 tahun ini jadi salah satu yang impresif di Asia Tenggara. COVID-19, katanya, tidak membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi paling buruk.Meski demikian, dalam 10 tahun pertumbuhan ekonomi, ketimpangan di Indonesia paling menonjol dibanding negara lain.“Ketimpangan rasio gini Indonesia paling buruk setelah China, di Asia Tenggara.”“Kenapa ‘rejeki’ sumber daya alam melimpah ini tidak bisa mengatasi ketimpangan? Padahal konstitusi mengamanatkan untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.”Tren ketimpangan ini, katanya, konsisten memburuk, walau sempat membaik pada 2017. Menurut dia, perlu meletakkan UU Minerba dalam konteks buruknya ketimpangan Indonesia ini. Hal ini, katanya, tak bisa lepas dari politik oligarki.Dalam dunia akademik, kata Yogi, juga diakui Indonesia sebagai negara oligarki yang dimaknai sebagai kekayaan dikuasai segelintir orang.Mengutip Helena Varkkey dalam buku The Haze Problem in Southeast Asia, Yogi menganalogikan peran oligarki dan dampak terhadap lingkungan, seperti kesulitan pemadaman asap setiap kali kebakaran hutan dan lahan selama lebih dari 20 tahun.Dalam buku itu disebutkan, kondisi itu bukan karena keterbatasan alat atau sumber daya manusia, tetapi karena ada hubungan antara perusahaan sawit dengan elit politik.“Ini yang bikin sistem sanksi tidak berjalan baik.” Kondisi serupa juga terjadi pada sektor minerba.Saat UU Minerba baru kembali pada sentralisasi pemerintah pusat, katanya,peran pemda sebagai bagian akar rumput yang pertama kali menghadapi masalah di masyarakat.
['penelitian' 'trivia']
[1.0, 1.3408206767095976e-09, 1.139192851162818e-09]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | LIPI telah menyusun Indonesia Green Government Index (IGGI) sebagai instrumen evaluasi pemda dalam mengelola sumber daya alam. Indeks ini disusun dengan premis bahwa pengelolaan sumber daya alam yang baik oleh pemda dapat jadi sarana mendistribusikan kesejahteraan kepada warga. Warga terlibat dalam pengelolaan hingga terserap dalam aktivitas pengelolaan sumber daya alam.Sisi lain, menurut indeks ini kalau pengelolaan sumber daya alam dengan baik, dampak terkait lingkungan, ekonomi dan sosial juga dapat dikelola maksimal.“Kualitas lingkungan harus tetap terjaga sekaligus pendapatan daerah dapat optimal.”  Dari hasil uji coba LIPI terhadap IGGI, ditemukan, pemda sangat impresif untuk menarik investor, namun mitigasi dampak minim, misal, ada PNS tak punya sertifikasi dalam menganalisis analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).Dengan sentralisasi dalam UU Minerba baru ini, Yogi khawatir, menimbulkan saling lempar tanggungjawab antara pemda dan pemerintah pusat kalau terjadi masalah lingkungan.Catatan LIPI, hanya 7% dari 15.000 kata dalam UU Minerba membahas soal dampak tambang. Dalam UU Cipta Kerja pun, semua manajerial soal dampak dikontrol pemerintah pusat.Seharusnya, pandemi COVID-19 ini jadi momentum bagi pemerintah dalam memikirkan hubungan manusia dengan alam.Mengutip sebuah riset dari Cambridge University yang menyatakan, eksploitasi sumber daya alam rentan memicu deforestasi yang berakibat makin ‘intim’ hubungan manusia dengan alam dan hewan liar, seperti saat ini hingga menimbulkan wabah di dunia.Yogi mengakui, pemda tak luput dari berbagai persoalan dalam eksploitasi sumber daya alam. Sejumlah izin tiba-tiba terbit, rawan korupsi dan penegakan hukum lemah. Beberapa daerah juga rentan dinasti kecil oligarki seperti di pusat.
['trivia']
[0.9999932646751404, 3.4551642329461174e-06, 3.3377132240275387e-06]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | Meskipun begitu, katanya, menarik semua kewenangan ke pusat bukan solusi. “Sebaiknya, ada perbaikan dulu ke daerah, karena pusat juga akan kesulitan jika menemui persoalan di akar rumput.”Oligarki tambang, kata Yogi, juga menyulitkan bagi pengusaha kecil yang ingin ikut andil dalam industri tambang. Mereka tak termasuk dalam oligarki yang punya keistimewaan sejak zaman Orde Baru. Ekonomi tumbuh tinggi bukan di daerah tambang Joko Tri Haryanto, peneliti madya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, mengingatkan, soal ketimpangan antara daerah kaya sumber daya alam, daerah kaya pajak dan daerah miskin di 34 provinsi Indonesia. “Daerah miskin paling banyak,” katanya.Catatan BKF, pada 2016 kontribusi Jawa dan Bali untuk pendapatan nasional mencapai 58%. Sementara daerah yang kaya tambang seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, kontribusi tidak signifikan. Pada 2019, pemerintah membangun lebih banyak infrastruktur di timur Indonesia, tetap angka ini tak berubah jauh.“Butuh banyak waktu untuk mengubah ini. Bagaimana mengurangi ketimpangan dan mengurangi beban Jawa ke daerah lain.”Menurut Joko, daerah-daerah yang memiliki pendapatan dan pertumbuhan ekonomi tinggi justru daerah yang tidak mengandalkan sektor tambang, seperti Jawa Timur, Bali dan Jawa Barat.Daerah kaya tambang seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara dan Kalimantan Selatan, justru pertumbuhan ekonomi menurun dari tahun ke tahun.“Daerah ini (tambang) share-nya tinggi tapi growth (ekonomi) negatif. Ini jadi early warning system,” kata Joko.Balikpapan, daerah yang tak membuka tambang juga mengalami pertumbuhan ekonomi lebih baik.
['hewan terancam punah' 'trivia']
[0.999989926815033, 5.325947768142214e-06, 4.717151114164153e-06]
UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi | EWS yang dimaksud Joko adalah supaya pemerintah daerah tidak lupa transisi ekonomi sebelum tambang berakhir. Pemda, katanya, harus berpikir bagaimana ekonomi daerah bisa tumbuh pasca tambang, dengan dana bagi hasil dari tambang.Dengan kata lain, pendapatan daerah dari tambang untuk membangun berbagai sektor non tambang. Kalau tak dilakukan, katanya, hipotesa mengenai kutukan sumber daya alam akan terjadi di daerah.“Ini bukan imajiner. Ketika daerah kaya sumber daya alam ini banyak konflik akibat tambang, menimbulkan ketimpangan dan pertengkaran. Kutukan sumber daya alam bisa jadi resource war,” katanya.Lantas seperti apa transisi ekonomi harus dilakukan? Joko mencontohkan, inisiatif Pemda Bojonegoro yang membuat dana abadi minyak dan gas karena bupati sadar bahwa tambang tak bisa mensejahterakan rakyat secara langsung.Dengan kondisi pandemi yang menyebabkan harga minyak turun, daerah bisa mengandalkan dana abadi ini alih-alih terus bergantung dana bagi hasil migas.Selain itu, katanya, sebagian besar tenaga kerja industri tambang, perlu keahlian tertentu yang tak menyerap banyak tenaga kerja lokal. Masyarakat lokal, katanya, hanya di sektor informal. “Biasa masyarakat lokal teralienasi dari daerah tambang itu,” katanya.Dengan sentralisasi dalam UU Minerba baru, Joko khawatir transmisi ekonomi akan jadi sangat kecil dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang makin terabaikan.“Tambang hanya bisa mensejahterakan jika untuk boosting sektor lain.” Keterangan foto utama: Hutan di Morowali yang terbabat untuk tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng  [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'nelayan' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'trivia']
[0.5002273321151733, 0.01127683836966753, 0.4884958565235138]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | [CLS] Pembangunan pulau terdepan yang diklaim Pemerintah Indonesia sebagai etalase Nusantara, hingga kini berjalan sangat lambat. Padahal, pembangunan pulau-pulau terluar sudah dimulai sejak 2005 lalu atau 12 tahun lalu. Akibat kondisi tersebut, hingga saat ini masalah kemiskinan dan disparitas sosial masih terus terjadi di kawasan tersebut.Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Mohamad Abdi Suhufan di Jakarta belum lama ini mengatakan, pembangunan fisik di kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan hingga saat ini dinilai masih terlalu jauh perkembangannya. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah berjanji bahwa pembangunan Indonesia di masa kepemimpinannya akan dimulai dari pesisir.“Komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan pulau-pulau kecil terluar masih mengalami kendala karena keterbatasan infrastruktur dan tingginya angka kemiskinan,” ungkap dia.  Selain kendala tersebut, Abdi menjelaskan, lambatnya pembangunan juga karena perencanaan dan anggaran pembangunan pulau-pulau kecil terdepan berpenduduk oleh Kementerian dan Lembaga Negara masih belum fokus pada upaya mengatasi masalah mendasar di pulau-pulau tersebut. Padahal, pada 2017 ini Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan berupa Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau Kecil Terluar.“Terbitnya Keppres seharusnya bisa menjadi momentum bagi Negara untuk melakukan perbaikan pengelolaan pulau kecil terdepan di perbatasan Negara. Kenyataannya, implementasi peraturan tersebut hingga saat ini belum terlihat bagus,” ucap dia.Dalam Keppres No 6 Tahun 2017, menurut Abdi, Pemerintah resmi menambahkan jumlah pulau kecil terdepan dari 92 menjadi 111. Dengan demikian, pulau kecil terdepan bertambah sebanyak 19 pulau pada 2017 ini. Penetapan 92 pulau sendiri dilakukan Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 278 Tahun 2005.
['Aparatur Sipil Negara' 'penelitian' 'trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | Abdi menjelaskan, keterlambatan yang masih berlangsung dalam pembangunan pulau kecil terdepan, mengakibatkan penyediaan kebutuhan dasar seperti sarana dan prasarana infrastruktur dan ekonomi masih berjalan di tempat. Dengan kata lain, pembangunan yang sudah berjalan selama 12 tahun, belum memecahkan persoalan kemiskinan yang menjadi stigma kuat untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan.Menurut Abdi, angka kemiskinan masyarakat di pulau kecil terluar hingga saat ini masih sangat tinggi yaitu mencapai 35 persen. Angka tersebut masih jauh di atas angka kemiskinan nasional yang kini tinggal 10,64 persen saja. Tak hanya itu, dia menambahkan, saat ini sekitar 8 (delapan) pulau masih belum terlayani sarana telekomunikasi.Abdi mencontohkan, akibat buruknya sarana telekomunikasi, di pulau Liran yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, masyarakat lokal terpaksa masih mengandalkan telekomunikasi menggunakan fasilitas perusahaaan telekomunikasi asal Timor Leste. Dengan kondisi itu, jumlah penduduk di pulau terdepan seperti pulau Liran, dari waktu ke waktu terus menyusut.“Pada tahun 2016 lalu jumlah penduduk di pulau-pulau kecil terluar berpenduduk sebanyak 305.596 jiwa,” tutur dia.  Ego PembangunanBuruknya pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Abdi, disebabkan karena Pemerintah tidak memiliki cetak biru (blue print) atau desain khusus pembangunan pulau-pulau kecil terdepan. Ketiadaan cetak biru tersebut, mengakibatkan perencanaan yang dilakukan banyak yang salah kaprah.“Pemerintah tidak menetapkan satuan unit pembangunan pulau terluar pada skala apa, apakah provinsi, kabupaten, kecamatan atau desa, sehingga masing-masing Kementerian melakukan intervensi sesuai dengan pemahamannya masing-masing,” jelas dia.
['trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | Mengingat ada ego pembangunan yang sama besar antara satu pihak dengan pihak yang lain, Abdi meminta Pemerintah untuk mendorong dilakukan pengawasan dalam pemanfaatan dana desa yang sudah dialokasikan untuk desa-desa kecil di pulau terdepan. Pengawasan perlu dilakukan, karena saat ini ada potensi anggaran pembangunan sebesar Rp525 miliar untuk 350 desa di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan.“Mengingat kapasitas aparat desa, akses informasi yang terbatas dan minimnya tenaga pendamping desa, maka perlu ada strategi khusus untuk memastikan dana desa tersebut digunakan untuk membantu masyarakat pulau terluar agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan,” papar dia.  Abdi menjelaskan, berdasarkan Kepres 6/2017 saat ini Indonesia memiliki 111 pulau kecil terdepan. Dari 111 pulau tersebut, terdapat 42 pulau berpenduduk dan 69 pulau tidak berpenduduk. Pulau kecil terluar tersebut tersebar di 18 provinsi, 27 kabupaten, 57 kecamatan dan sekitar 350 desa. Berdasarkan Perpres 78/2005 terdapat 17 Kementerian/Lembaga yang diberi tugas untuk berkoordinasi dan melakukan intervensi pembangunan di pulau-pulau kecil terluar.Untuk penanganan perbatasan sendiri, pada 2015 lalu Presiden Jokowi sudah memberikan instruksi agar semuanya dilakukan pada empat Kementerian yaitu : Kementerian Pertahanan, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.Buruknya pembangunan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman, bisa terjadi karena Pemerintah belum bisa membedakan strategi pembangunan perbatasan Indonesia yang berbasis darat dan laut atau pulau-pulau kecil.
['masyarakat desa' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'perdagangan' 'pertanian' 'perusahaan' 'politik' 'sawit']
[0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | “Penelitian kami di pulau kecil terluar berpenduduk, menemukan bahwa kemiskinan yang terjadi dikarenakan keterbatasan akses dan minimnya pilihan hidup masyarakat. Beberapa pulau kecil di Maluku Barat Daya seperti pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar dilayani dengan sarana transportasi laut yang terbatas,” jelas dia.Minimnya sarana transportasi laut, kata Subhan, terlihat dari pelayanan kapal reguler milik Pemerintah yang tidak memiliki jadwal tetap keberangkatan. Kondisi itu, membuat masyarakat tidak memiliki kepastian dan itu menyebabkan biaya menjadi tinggi dan investor enggan datang ke pulau kecil terluar.“Dari sisi transportasi udara, karena kendala teknis, maskapai penerbangan tidak mau mengangkut hasil laut seperti ikan, udang dan lobster dari ibukota kabupaten ataupun kawasan pesisir lainnya,” kata dia.Agar persoalan tersebut bisa dipecahkan, Subhan meminta Negara untuk hadir di pulau terdepan dengan fokus memperbaiki penyediaan sarana transportasi, telekomunikasi, dan membangun infrastruktur yang saling terhubung. Pemerintah, sambung dia, perlu memastikan bahwa program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertujuan untuk membangun infrastruktur yang terhubung antara ibu kota kabupaten dengan pulau kecil terluar.  Industri PesisirDi saat pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan berjalan di tempat, Pemerintah justru melakukan eksploitasi kawasan tersebut melalui pengembangan pariwisata yang didesain untuk menjadi kawasan unggulan di masa mendatang. Proyek pengembangan tersebut, dibuat dengan menggunakan dana yang berasal dari utang luar negeri.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'lahan' 'pendanaan' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian' 'perusahaan' 'politik' 'sawit']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, pembangunan yang masuk dalam Proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) itu bisa mengancam kehidupan masyarakat pesisir. Tak hanya itu, pembangunan juga dipastikan akan menambah beban utang luar negeri.“Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, dana yang dibutuhkan untuk proyek 10 destinasi wisata prioritas beserta infrastruktur pendukungnya mencapai lebih dari Rp132 triliun,” jelas dia.Salah satu proyek yang masuk dalam KSPN, kata Susan, adalah pembangunan kawasan terpadu Mandalika yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat. Proyek wisata paling mutakhir tersebut, digadang-gadang akan menyaingi Bali karena memiliki keindahan wisata laut dan juga kelengkapan alam di darat dan budayanya.Menurut Susan, meski akan mendatangkan banyak uang untuk Negara, namun dia meminta Pemerintah untuk bisa menjamin keberlangsungan warga yang tinggal di kawasan tersebut. Jika itu tidak dilakukan, maka ancaman kehilangan tempat tinggal akan terjadi lagi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.“Kita bisa belajar dari tergusurnya 109 Kepala Keluarga di Gili Sunut, Lombok Timur dimana mereka telah kehilangan tempat mencari nafkah hanya karena wilayah mereka mau dibuat area pariwisata. Bisa dibayangkan proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ini berpotensi melakukan hal yang sama; perampasan ruang,” tutur dia.Proyek KSPN sendiri, kata Susan, khususnya yang dibangun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil , itu bertentangan dengan sejumlah peraturan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 Tahun 2010 tentang Larangan Privatisasi dan Komersialisasi Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'inovasi' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian' 'perusahaan' 'sawit']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal? | “Dan ada juga UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam,” pungkas dia.  [SEP]
['kebijakan' 'perdagangan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Restorasi Ekosistem dan Perubahan Iklim | [CLS] Adakah kaitan antara Restorasi Ekosistem dengan perubahan iklim? Tentu saja ada.      Restorasi Ekosistem (RE) merupakan upaya untuk memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai hutan baik ekonomis maupun ekologis. Izinnya yang dinamakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Lokasinya berada di hutan alam produksi.Restorasi Ekosistem sendiri adalah upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan nonhayati (tanah, iklim, tofograpi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Bila selama ini kayu sebagai primadona, melalui RE banyak jenis manfaat yang bisa dipetik. Mulai dari tanaman biofarmaka (obat) dan bioenergi, penyerap karbon, ekowisata dan ilmu pengetahuan, hingga jasa lingkungan. Hasil kayunya juga dapat dimanfaatkan berbarengan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu (non-timber forest products) seperti madu, jernang, rotan, bambu, getah, dan buah-buahan.Kementerian Kehutanan melalui SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 tanggal 21 Oktober 2013 telah mencanangkan areal hutan produksi yang akan di restorasi seluas 2.695.026 hektar. Berdasarkan data Ditjen Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan (BRPUK) hingga akhir Desember 2013 terdapat sebanyak 47 pemohon yang telah memasukkan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Namun, baru sekitar 12 pemohon diantaranya telah mendapatkan ijin dengan total areal 480.093 ha.Kaitan Perubahan Iklim dan Restorasi Ekosistem di Mata Para Ahli
['kebijakan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Restorasi Ekosistem dan Perubahan Iklim | Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan karbon dioksida (CO2) yang berimplikasi pada meningkatnya permukaan air laut. Perubahan iklim ini tentunya berdampak negatif terhadap seluruh negara di dunia, terlebih negara kepulauan. Berdasarkan laporan World Bank dan Regional and Coastal Development Centre of ITB (2007), perubahan iklim akan berdampak serius pada Indonesia. Diperkirakan, dalam 30 tahun ke depan, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam ketika peningkatan air laut mencapai 0,80 m.Negara-negara di dunia pun sepakat untuk menangani “hantu” perubahan iklim ini dengan berbagai cara. Namun, secara umum yang sering didengungkan adalah melalui mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi meningkatnya peredaran GRK ke atmosfer yang sangat penting melindungi bumi dari pancaran langsung sinar matahari. Sedangkan adaptasi adalah upaya cerdas kita menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan yang berubah akibat iklim yang berubah juga.Seperti yang disampaikan oleh Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, RE tidak hanya memulihkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal. Tetapi juga, secara langsung mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menambah simpanan karbon di atas permukaan tanah dan menjaga lepasnya karbon yang tersimpan di bawah tanah.Menurut Agus, simpanan terbesar karbon itu berada di lahan gambut. Kaitannya dengan restorasi ekosistem adalah, lahan gambut harus menjadi prioritas restorasi di masa depan, baik yang sudah dimoratorium maupun yang ada di luar kawasan, karena cadangan karbonnya yang begitu besar. Jumlah karbon yang tersimpan di bawah permukaan lahan gambut hanya untuk kawasan seluas sembilan persen. Sisanya yang 91 persen berada di  lahan mineral yang stok karbonnya hanya 41 persen.
['budidaya' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'lahan' 'nelayan' 'pertanian' 'perusahaan' 'politik']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Restorasi Ekosistem dan Perubahan Iklim | Indonesia pun berkomitmen dalam mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen dengan kemampuan sendiri. Dengan bantuan dunia internasional menjadi 42 persen hingga tahun 2020 nanti. Jumlah karbon yang ada terhitung dari tahun 2009 hingga 2020 diperkirakan sekitar 1,6 giga ton.Agus juga mengatakan bahwa kawasan hutan yang tidak dikelola dengan baik merupakan kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk itu, hutan harus dipulihkan dengan cara meningkatkan luasan hutan alam yang akan direstorasi. “Semakin banyak RE yang dilakukan, semakin kuat juga masyarakat menghadapi perubahan iklim” tuturnya.Mangarah Silalahi, Kepala Resource Center, Pengembangan Restorasi Ekosistem Burung Indonesia, menuturkan bahwa RE diyakini dapat berkontribusi besar terhadap upaya mitigasi di sektor kehutanan. RE merupakan pendekatan baru dalam membangun adaptasi perubahan iklim berbasis ekosistem. “Selain itu, RE berpeluang  menyatukan bentang hutan alam yang terpisah bahkan mengurangi laju deforestasi dan emisi karbon, “ujarnya.Pemerintah telah menetapkan kehutanan sebagai sektor utama (leading sector) untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Untuk itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan strategi pembangunan rendah karbon. “Restorasi Ekosistem akan memainkan peran yang sangat penting dalam perubahan iklim ini,” lanjut Mangarah.Dodik Ridho Nurrochmat, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, punya pandangan kritis. Menurut Dodik memang benar tujuan RE di hutan produksi adalah memulihkan unsur biotik dan abiotik hingga tercapai keseimbangan hayati. Namun begitu, hingga kini belum ada peraturan yang jelas dan terukur  mengenai kriteria pencapaian keseimbangan hayatinya.
['budidaya' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'nelayan' 'pendanaan']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Restorasi Ekosistem dan Perubahan Iklim | Tolok ukur yang dapat dipertimbangkan adalah kembalinya kondisi asli ekosistem seperti tutupan vegetasi asli, bentang alam, serta ragam flora dan faunanya. Selain itu, adanya besaran stok karbon yang dapat dijadikan referensi pada tingkat tapak yang berkontribusi bagi pengurangan emisi dalam skema REDD+.Dodik juga mengkritisi batasan minimal keberhasilan RE sebagai green business yang sebaiknya ditetapkan secara filtering, bukan weighting. “Filtering lebih berorientasi pada pemulihan fungsi produksi hutan yang selanjutnya diikuti perbaikan ekologi dan berujung pada keterimaan secara sosial. Sementara weighting lebih mengutamakan fungsi hutan untuk produksi,” terangnya.Sebagai inovasi yang bernas dan cerdas, RE dipastikan memiliki masa depan yang cerah. Terlebih, skema ini tidak merugikan negara, sebaliknya sangat membantu. Untuk itu, harus ada legal framework yang sifatnya koalisi agar RE akan selalu didengar oleh para pengambil kebijakan di Indonesia ini.Ini penting, mengingat luas hutan alam produksi Indonesia saat ini sekitar 73,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 35,04 juta hektar telah mendapatkan izin pemanfaatan yang termasuk di dalamnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) seluas 480.093 hektar.Sebagaimana yang disampaikan Agus Purnomo, setiap lima tahun sekali kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Caranya, kita harus mendukung presiden yang peduli lingkungan, yang membuat peraturan yang lebih baik dan tidak terkotak-kotak pengelolaannya. Bebas interfensi politik. Sebagai gambaran, saat ini kewenangan pemerintah pusat (Jakarta), daerah, dan kehutanan masih pecah. Situasi yang menyedihkan, tentunya.Jadi, sekarang lah saat yang tepat untuk kita bersikap.Rahmadi Rahmad, penulis kolom dan saat ini bekerja sebagai Media and Communication Officer pada Burung Indonesia [SEP]
['masyarakat desa' 'nelayan' 'perusahaan' 'politik']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | [CLS] Bagi banyak orang aktivitas Sudarmi (56) sehari-hari ibarat siang dan malam. Di suatu saat dia bisa jadi perias pengantin, di kesempatan lain dia sering tampak berada di hutan, di antara tumpukan log kayu jati.Sudarmi memang sosok unik. Dia sedikit dari perempuan Indonesia yang bekerja di sektor kehutanan yang umumnya didominasi kaum pria.Dua tahun lalu Sudarmi terpilih menjadi ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML). Sebuah koperasi yang mewadahi para petani yaitu petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan petani Tanaman Hutan Rakyat (THR) yang berada di sebagian wilayah Gunungkidul.Sudarmi juga ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sedyo Rukun di Desa Banyusoco. Istimewanya, sebagian besar anggota HKm ini perempuan. Selain itu, dia juga dipercaya sebagai ketua Paguyuban HKm Gunung Seribu, yang beranggotakan kelompok yang berjumlah 35 kelompok.  Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun berdiri sejak 2000. Pada 2007 ia mendapat izin pengelolaan hutan negara seluas 17 hektar selama 35 tahun di Hutan Paliyan. Lokasinya berada di sebelah hutan negara yang dikelola Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Yogyakarta. Sebuah jalan aspal membelah di antara keduanya.Kelompoknya sudah melakukan panen kayu sebanyak dua kali, yaitu pada 2019 dengan luas 9 hektar, lalu pada 2020 dengan luas 3,5 hektar. Tahun ini panenan kayu di lahan seluas 4,5 hektar akan dilaksanakan sekitar bulan Juni.Menurut Sudarmi, kali ini jumlah pohon yang dipanen sebanyak 2.736 batang. Pemanenan berikutnya sebutnya baru akan dilakukan 10 atau 15 tahun lagi.Pada 2018 lalu, kelompok ini menjadi juara ketiga dalam lomba Wana Lestari yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedyo Rukun dianggap berprestasi karena berhasil memberdayakan dan mengubah perilaku masyarakat di bidang lingkungan hidup.
['lahan' 'perusahaan']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Berlanjut di 2019 lalu, Sudarmi mendapat anugerah sebagai salah satu tokoh perhutanan sosial dari 20 orang terpilih dari seluruh Indonesia dari KLHK. Indikatornya, kepeloporan, konsistensi, dan kemampuan kolaborasi untuk mengelola dan melestarikan hutan.Baca juga: Sri Hartini, Saat Perempuan Ambil Bagian Jadi Pelindung Hutan Wonosadi  Hasil produksi kayu lestari KWML memang dari tahun ke tahun semakin besar. Pada 2019 tiga kelompok HKm yang tergabung dalam koperasi memanen kayu jati di lahan seluas 28 hektar dengan tebangan 274 meter kubik, total pendapatannya Rp. 328.000.000.Setahun berikutnya jumlah itu meningkat. Empat kelompok HKm memanen 45 hektar, produksi kayu sebanyak 655 meter kubik, dengan pendapatan Rp 978.528.500.Di tahun ini, mereka menargetkan ada 10 kelompok HKm yang akan memanen kayu dengan luas panen 110 hektar. Produksi kayu sebesar 1.630 meter kubik, dengan potensi pendapatan diperkirakan sebesar Rp 3.080.346.715.Agar hutan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, Kelompok Tani Sedyo Rukun pun menanami aneka bahan jamu di bawah tegakan. Ada kelompok bernama Sedyo Rukun yang menjadi wadah anggota untuk mengolah empon-empon.Mereka membuat aneka serbuk minuman jamu, gula kunir, jahe kristal, wedang uwuh. Juga membuat aneka cemilan dari umbi garut dan olahan pisang.Tak hanya mengolah aneka pangan, kelompok Sedyo Rukun membuat batik memakai pewarna alami daun jati. Selain itu mereka juga memproduksi sabun pewarna alami. Ini dilakukan dengan memanfaakan sumber lokal yang bisa menambah pendapatan.Pada 2018 kelompok ini coba menanam porang. Porang dipilih karena dianggap memberikan hasil yang lebih baik dibanding palawija. Tahun ini mereka akan coba menanam nilam sebanyak 22 ribu batang di lahan seluas 1 hektar.
['penelitian' 'trivia']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Sudarmi bilang penyiapan lahan itu untuk uji coba. Jika berhasil maka lahan yang ditanam nilam akan diperluas lagi. Diharapkan setiap lima bulan sekali mereka bakal panen selama dua tahun.Sebagai koperasi serba usaha, KWML mempunyai unit bisnis penggergajian kayu agar nilai tambah kayu meningkat menjadi barang setengah jadi. Mereka menerima penggergajian baik dari anggota maupun non anggota. Setidaknya per hari bisa diolah 2 meter kubik log kayu menjadi kayu olahan.Baca juga: Our Mothers’ Land, Jejak Pejuang Lingkungan Perempuan Indonesia  Kayu BersertifikatKWML juga menjalankan jual beli kayu bersertifikat, baik berbentuk log bulat maupun kayu gergajian. Mereka pun menerima pemesanan produk kayu seperti mebel, kusen jendela maupun pintu dari konsumen.Koperasi ini pernah mendapatkan Sertifikat Ekolabel pengelolaan hutan rakyat secara lestari oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Koperasi juga beroleh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk unit manajemennya.Manfaat terbesar dirasakan petani atas keberadaan koperasi adalah jaminan harga beli kayu lestari. Sementara koperasi memiliki jaminan pasar karena telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang sudah terdaftar ke Sistem Informasi Penatausahaan Hasil hutan (SIPUHH).Lalu bagaimana Sudarmi menjalankan organisasi? Apa pandangan dia tentang konsep hutan lestari untuk kesejahteraan?Mongabay Indonesia mengunjungi kediamannya pada tanggal 27 Maret 2021 lalu. Sudarmi mengajak mengunjungi lahan pembibitan, areal tebangan, dan unit penggergajian kayu. Mongabay kembali menghubungi Sudarmi melalui sambungan telpon pada 9 April lalu.   Berikut petikan wawancaranya. Mongabay: Bisa cerita secara singkat bagaimana Anda berkecimpung di bidang kehutanan?
['lahan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Awalnya sebagai anggota Kelompok Tani Sedyo Rukun. Seiring berjalannya waktu saya jadi pengurus. Kemudian tahun 2013 dipercaya teman-teman jadi ketua HKm Sedyo Rukun. Ternyata ada rasa suka dengan berkecimpung di hutan.Kami bisa bareng-bareng mengelola hutan, menanam, memelihara, memanen. Sampai tahun 2019 saya dipercaya menjadi ketua KWML. Pada tahun itu koperasi direvitalisasi, yang semula mengalami masa vakum karena tidak ada kegiatan oleh pengurus dan anggota saat itu.Dengan keikhlasan untuk mencintai hutan maka semua kegiatan bisa kami laksanakan dengan lancar. Ini tidak terlepas dari dukungan dan motivasi dari anggota kempok dan para stakeholder yang terkait. Mongabay: Mengapa suka bidang kehutanan?Ketika pertama kali masuk saya tidak tahu juga. Sempat ada keraguan, apakah saya bisa, apakah saya mampu mengelola dengan membawa teman-teman yang banyak itu. Awalnya seperti itu. Tetapi setelah saya lakukan, ternyata itu bukan sesuatu yang sulit.Ketika kami mengadakan penebangan kayu, melaksanakan penanaman, ternyata di sana kami menemukan sesuatu yang menyenangkan. Cuma satu yang tidak bisa saya lakukan. Perempuan kalau disuruh angkat-angkat memang bukan bidangnya ya. Mongabay: Menurut Anda keterlibatan petani hutan perempuan di sini seperti apa?Saya menilai petani perempuan saat ini justru kegiatannya semakin aktif. Lebih aktif dibandingkan laki-lakinya. Masalahnya mungkin, bapak-bapak tidak fokus di pertanian saja. Kadang-kadang mereka juga bekerja di luar, bekerja di kota, ada yang menjadi tukang, dan sebagainya.Perempuan bekerja di dalam bidang pertanian menurut pandangan kami lebih telaten, mendalam dan detil dibanding dengan bapak-bapak. Ketika dipegang perempuan menurut saya  persentase keberhasilannya bisa dibilang lebih tinggi daripada yang dikelola bapak-bapak.
['pendanaan' 'perusahaan' 'tambang' 'trivia']
[0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Memang, kalau di sektor kehutanan secara umum itu agak kurang. Permasalahannya sektor hutan berhubungan dengan kayu. Ketika berhubungan dengan kayu atau olahan, lebih condong banyak laki-lakinya daripada perempuan.  Mongabay: Mengapa perempuan di sini bisa lebih aktif berorganisasi?Saya juga tidak tahu, apa karena mungkin ketuanya perempuan, jadi kami lebih mudah menggerakkan ibu-ibunya. Bahkan ketika melakukan tebangan kayu di situ juga ada perempuan yang ikut. Kami ikutkan dua perempuan untuk mencatat di buku ukur. Meski panas atau hujan, mereka kita libatkan di sana. Mongabay: Apa karena perempuan lebih bisa dipercaya?[Tertawa]. Nggak tahu juga ya. Yang jelas ketika perempuan ikut, yang saya lihat perempuan lebih disiplin, atau teliti. Saya lebih senang ketika kegiatan itu memang yang ikut perempuan. Jadi saya tekankan terutama di kelompok kami, saat kegiatan tebangan di lahan, saya mengajak ‘Ayo ke sini ibu-ibu. Bapak-bapak cuma bikin ribet saja.’ Mongabay: Masuknya banyak anggota perempuan itu ketika melakukan revitalisasi koperasi?Kalau di dalam koperasi memang iya. Kebanyakan perempuan setelah revitalisasi. Kita di KWLM istilahnya belum ada cabang. Koperasinya serba usaha dan simpan pinjam. Usaha kita tentang pengolahan kayu. Di situ ada gergaji dan sebagainya. Kita mengolah kayu, yang log kita olah di situ masih dalam bentuk setengah jadi.Kita bisa menjual barang setengah jadi, bisa juga ketika ada pesanan kita menjual barang jadi. Usaha kita memang penggergajian kayu. Mongabay: Seberapa jauh manfaat koperasi Wana Manunggal Lestari dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya?Memberikan kesejahteraan berupa pembelian kayu dengan harga pasti. Ketika koperasi membeli kayu, petani merasa terlindungi. Petani memilih menjual ke koperasi dibanding langsung menjual ke pembeli.
['pendanaan' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah' 'sawit']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Kalau lewat koperasi kayu dihargai sesuai harga yang sudah menjadi kesepakatan. Petani yang berhubungan langsung dengan pembeli sering dipermainkan. Misalnya, kayu ukuran A2 semula harga Rp 2,3 juta, ketika ketemu pembeli dia bisa turunkan harga dengan alasan kayunya rusak, cacat, bengkok.  Mongabay: Apa susahnya perempuan jadi ketua koperasi perkayuan? Pernah ada yang meragukan kemampuan Anda?Kita harus bisa membagi waktu sebaik mungkin. Karena harus berbagi waktu dengan keluarga juga kan. Kadang ada juga yang meragukan, apa mungkin perempuan bisa memimpin, apalagi hutan identik dengan laki-laki. Saya tidak mau menunjukkan apa saya bisa atau tidak. Dijalani saja, nanti kelihatan hasilnya, berhasil atau tidak. Mongabay: Ada tulisan ‘Hutan adalah Emas Hijau Titipan Anak Cucu’ di papan nama HKm Sedyo Rukun, apa artinya?Yang namanya hutan, apa yang ditanam di tahun ini belum tentu kita yang bakal memanennya. Misalnya jati, jangka waktunya puluhan tahun. Kita tidak tahu umur kita sampai di mana, jadi itu untuk anak cucu kita. Mongabay: Apa pandangan Anda terkait fungsi hutan?Fungsi hutan sebenarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Kelestarian hutan itu tidak berarti ketika kita tebang kayu dilakukan sebanyak-banyaknya untuk dapat hasil maksimal, bukan itu.Ada aspek kelestarian. Mungkin lima tahun pertama apa, lima tahun ke dua, apa, lima tahun ketiga apa, setelah tebang terus kegiatan kita apa. Itu yang namanya lestari. Ketika hutan kita lestari otomatis memberikan kesejahteraan untuk masyarakat. Mongabay: Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan atau pinggir hutan sering dianggap masyarakat miskin. Banyak yang meragukan bahwa hutan bisa memberi kesejahteraan. Menurut Anda?
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'sawit']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Wawancara: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan | Mungkin karena dia belum merasakan. Ketika dia sudah tahu apa fungsi hutan, apa manfaat hutan sebenarnya banyak yang bisa dimanfaatkan. Umumnya masyarakat sekitar hutan, mayoritas bertani saja. Kalau tidak mengelola hutan kita mau ngapain, kita kan tidak bisa bercocok tanam ke tempat lain. Bisanya kita cuma memanfaatkan hutan tersebut. ***Foto utama: Sudarmi, sosok pelestari hutan di Gunung Kidul. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia   [SEP]
['perusahaan']
[0.007496183272451162, 0.49611595273017883, 0.49638786911964417]
Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia? | [CLS] Keberadaan rumpon di seluruh Indonesia tidak akan mendapat tolerasi lagi dari Pemerintah. Dengan tegas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan akan membersihkan seluruh rumpon yang sudah ada di bawah perairan di seluruh daerah.Diterapkannya kebijakan tersebut, tak lain karena rumpon dinilai bukan sebagai sarana untuk menangkap ikan yang baik. Dengan kata lain, keberadaan rumpon dinilai bisa merusak ekologi perairan setempat dan itu bisa mengancam keberadaan ikan-ikan.Hal tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyikapi semakin maraknya pengusaha dan nelayan yang menggunakan rumpon untuk menangkap ikan. Menurut dia, rumpon tidak akan diberi tempat lagi di perairan Indonesia.“Rumpon, apapun nama dan bentuknya, itu adalah mengganggu. Selain itu, rumpon juga ilegal, karena Pemerintah tidak pernah mengeluarkan izin dalam bentuk apapun,” ungkap dia di Jakarta, akhir pekan lalu.Meski Susi tidak menampik ada rumpon yang sudah lama berada di bawah perairan Indonesia, namun dia tidak akan membiarkannya untuk tetap ada. Pasalnya, jika terus dibiarkan, keberadaan rumpon bisa menurunkan kualiats lingkungan hidup di sekitar perairan tersebut.“Jadi jelas kalau rumpon itu harus dibasmi sampai habis,” ucap dia.Karena rumpon dilarang, Susi memastikan bahwa tidak ada izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat ataupun daerah. Hal itu, karena izin rumpon itu hanya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Jika di daerah ada rumpon dengan izin Pemerintah Daerah, itu bisa dipastikan adalah rumpon ilegal.“Kita perlu dukungan semua pihak untuk menertibkan keberadaan rumpon ini. Karena, tidak semua bisa kita pantau. Jika ada yang tahu di daerah ada rumpon yang berizin pemda setempat, laporkan ke kami. Itu ilegal,” jelas dia.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'lahan' 'penyakit' 'trivia']
[0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189]
Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia? | Berkaitan dengan rumpon di daerah tersebut, Susi mendapat laporan ada rumpon liar di sekitar Laut Seram, Maluku. Keberadaan rumpon tersebut, dipastikan akan ditertibkan karena itu tidak berizin dan bisa merusak ekologi perairan setempat.“Satgas 115 juga kini akan mendalami kasus rumpon di Laut Seram yang diduga kuat berjumlah banyak dan dimiliki perusahaan besar,” katanya.Menurut Susi, semakin banyak rumpon yang dipasang di perairan Indonesia, maka itu akan berpotensi mengalihkan pergerakan tuna ke dalam kawasan perairan nasional. Jika itu dibiarkan, maka itu dinilai bisa merugikan nelayan kecil dan tradisional.Susi menyebut, selain di Laut Seram, perairan yang saat ini diketahui terdapat banyak rumpon, adalah di sekitar perairan Nusa Tenggara Timur (NTT), Teluk Tomini (Sulawesi Tengah) dan Bitung (Sulawesi Utara).“Di sana, tangkapan nelayan tradisional sebagian besar hanya malalugis yang dikenal sebagai ikan umpan untuk tuna. Padahal potensi tangkapan di sekitar Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sangat besar karena merupakan habitat tuna dan ikan pelagis besar lainnya,” tutur dia.Menurut Susi, ikan-ikan seperti tuna dan pelagis besar lain biasanya hidup bergerombol di dalam perairan, namun kemudian terhadang rumpon dan akhirnya hanya berputar-putar di sekitar rumpon saja. Dia yakin, jika rumpon tidak ada, ikan akan mendekat ke pesisir. Apa Itu Rumpon?Dilansir berbagai sumber literasi, rumpon adalah jenis alat bantu penangkapan ikan yang biasanya dipasang di bawah laut, baik perairan dangkal maupun dalam. Tujuan pemasangan rumpon, adalah untuk menarik sekumpulan ikan yang ada dan berdiam di sekitar rumpon. Setelah terkumpul, ikan-ikan tersebut biasanya akan ditangkap.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia? | Rumpon yang dikenal dewasa ini, tidak lain adalah karang buatan yang sengaja dibuat oleh nelayan atau pengusaha perikanan. Agar ikan bisa datang lebih banyak, biasanya rumpon juga terdiri dari berbagai jenis barang lain seperti ban, dahan dan ranting pohon.Agar barang-barang tersebut bisa tetap berada di bawah air, biasanya akan disertai dengan alat pemberat berupa beton, bebatuan, dan alat pemberat lain. Supaya posisi rumpon bisa aman di tempat semula, biasanya alat pemberat akan ditambah lagi jika memang diperlukan.Meski rumpon adalah karang buatan yang berfungsi sebagai rumah ikan yang baru, namun pembuatannya biasanya dilakukan sealami mungkin mendekati rupa asli dari karang alami. Rumpon yang sudah ditanam tersebut, kemudian akan diberi tanda oleh pemiliknya, sehingga memudahkan mengidentifikasi jika sedang berada di atasnya.Di Indonesia, sebagian besar rumpon yang ditanam terdiri dari tiga jenis:.Rumpon Itu Merugikan?Sebelum Susi mengeluarkan kebijakan pada awal 2017, menteri asal Pangandaran, Jawa Barat itu juga sudah mengeluarkan pernyataan serupa pada medio 2016 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tetapi, di kampus tersebut, Susi mendapat penolakan argumen dari pengajar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan IPB, Roza Yusiandayani.Menurut Roza, kebijakan pelarangan rumpon di tengah laut yang diterapkan KKP harusnya bisa dipertimbangkan kembali. Hal itu, karena penanaman rumpon banyak memberi manfaat ekonomi bagi nelayan tradisional.“Saya sudah 25 tahun  melakukan penelitian, selain itu saya juga baca di berbagai jurnal ilmiah. Jadi, saya tidak sepakat jika rumpon harus dimusnahkan,” ujar dia.
['trivia']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia? | Seusai diskusi, Roza menjelaskan, rumpon yang ada saat ini sudah meningkatkan pendapatan tangkapan ikan bagi nelayan. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut peningkatannya bisa mencapai 40 persen lebih. Jika dirupiahkan, per kapal bisa mendapatkan penghasilan rerata Rp10-60 juta dan itu bisa membantu perekonomian nelayan.Berkaitan dengan pernyataan Susi yang menyebut rumpon itu dilarang, Roza  memaparkan fakta bahwa rumpon sudah diatur dalam SK Mentan nomor 51/KPTS/Ik.250/1/97. Dalam SK tersebut, rumpon diakui sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dipasang didasar laut.“Di Bengkulu, ada rumpon yang dipasang dan itu punya orang Jakarta. Namun, nelayan setempat bisa memanfaatkannya karena bisa mencari ikan di sekitar rumpon tersebut. Rumpon bisa menjamin kelangsungan hidup ikan dengan ukuran 100 sentimeter,” jelas dia.Karena ada manfaat yang dirasakan, Roza meminta Susi untuk mempertimbangkan kebijakan pelarangan rumpon di seluruh wilayah perairan Indonesia. Kata dia, jika memang pelarangan akan diberlakukan, maka itu lebih tepat diterapkan kepada rumpon yang dimiliki investor asing.“Kalau mau dimusnahkan, ya rumpon punya asing saja. Kalau rumpon punya nelayan lokal, sebaiknya jangan ya. Itu bermanfaat banyak,” pungkas dia. [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'lahan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | [CLS]     Tanaman seragam, jalan pun serupa. Udara panas dan debu tampak pekat mengepul. Inilah pemandangan di kebun-kebun sawit perusahaan. Sawit itu menghampar dari Sulawesi Barat, di Mamuju Tengah, menuju Pasang Kayu, hingga Sulawesi Tengah di Donggala dan Morowali.Satu grup yang dominan memiliki lahan perkebunan adalah Astra Agro Lestari, dengan anak perusahaan seperti PT Mamuang, PT Lestari Tani Teladan (LTT), PT Letawa, PT Pasangkayu, PT Suryaraya Lestari, dan PT Badra Sukses. Perusahaan lain, ada Wahana Global dan Trinity.Di Desa Salugatta, Mamuju Tengah, hamparan yang dulu kebun karet berubah jadi sawit. Ketika berdiri di sebuah bukit, hamparan sawit itu bagai tak berujung. Di ujung batas pandang mata, tanaman itu samar tetap berdiri. “Sawit semua,” kata pesepeda motor yang beristirahat di pondok kayu.“Saya melintas mau ke Mamuju, dari Palu. Mau istirahat cari tempat rekreasi kayaknya tidak ada,” katanya.Kami bersapa pada akhir Juni di siang terik sekitar pukul 13.00. Di tempat ini, mengendarai sepeda motor rasanya serba salah memilih pakaian. Memakai jaket, keringat bercucuran. Tak menggunakan pakaian pelindung, kulit rasa terbakar. Selama empat hari di Topoyo, pusat kota Mamuju Tengah, saya berkeliling dengan sepeda motor.Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)Di Desa Tobadak, tempat tinggal Bupati Mamuju Tengah, Aras Tammauni, seperti kampung umumnya, ada sekolah, mesjid, lapangan, dan prasana umum lain. Jalan mulus dengan aspal licin. Rumah-rumah panggung dan beton berdiri. Rumah Aras, berpilar besar, berwarna putih, dan bagian depan ada mesin ATM Bank Negara Indonesia. Rumah pribadi, sekaligus jadi rumah jabatan.Di Topoyo, tak banyak orang yang ingin bercerita mengenai sawit dan kemelutnya tetapi mereka memilih bungkam.“Saya tahu, ada banyak soal di Topoyo. Ada beberapa perampasan lahan. Tapi kami tak berani,” kata salah seorang penduduk yang saya temui.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'perusahaan']
[0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Di Topoyo, ada banyak keluarga datang lewat program transmigrasi. Mereka mengadu nasib dan membentuk ikatan kuat, tetapi tidak dalam kekuatan politik. Para pendatang ini hingga sekarang masih ketakutan untuk bersuara.Pada pemilihan Bupati Mamuju Tengah 2015, Aras mengumpulkan suara nyaris 98%. Kemenangan mutlak yang membuat beberapa koleganya ikut menduduki kursi legislatif.  Aras adalah bupati yang mendukung pengembangan perkebunan sawit. Bagi dia, sawit adalah tanaman terbaik untuk meningkatkan pendapatan masyarakat karena tidak rewel.“Penghasilan masyarakat bertambah dari sawit. Ini jadi tanaman favorit karena tidak manja,” katanya dikutip dari Fajar.co.id.Aras juga mengakui jadi bagian dari Astra, sejak beberapa tahun lalu. Perusahaan ini dia bilang ikut menggerakkan putaran ekonomi Mamuju Tengah sampai Rp80 miliar setiap bulan. Hasil sawit kecil“Sebenarnya, sawit untuk PAD Mamuju Tengah, sangat kecil. Tak sampai 10% dari total PAD kita,” kata Arsal Aras, Ketua DPRD Mamuju Tengah.Arsal adalah anak Aras. Pada pemilihan legislatif 2019, dia kembali terpilih melalui usungan Partai Demokrat. Selain Arsal, tiga saudara lain juga terpilih kembali menduduki kursi legislatif. Masing-masing, Arwan Aras, melalui PDI Perjuangan, melenggang ke Senayan.Amalia Putri Aras dari Partai Demokrat kembali memenangkan satu kursi di Sulawesi Barat. Nirmalasari Aras dari Partai Demokrat, juga istri wWakil Bupati Mamuju.Saya menemui Arsal di Makassar, awal Juli 2019. Dia mengatakan, pemerintah yang dinahkodai bapaknya sangat terbuka dan berjalan transparan. Dia memastikan, tak ada kepentingan politik. Legislatif, katanya, memberi masukan pada eksekutif.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'perusahaan' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Dia berkali-kali mengungkapkan, kalau dewan dan pemerintah daerah adalah mitra. “Jika pemerintah daerah bilang sawit terbaik, saya kira itu juga bisa direvisi. Sekarang kami bekerja sama dengan dinas terkait, mencoba mendorong pengembangan komuditi lain. Saya kira sawit tak signifikan untuk masyarakat secara umum,” katanya.Meskipun begitu, katanya, karena masyarakat sudah terlanjur menanam sawit, pengembangan komoditas lain pun secara pelahan.Bagi Arsal, sawit hanya tanaman industri. Modal besar dengan pembagian hasil jauh lebih sedikit karena perizinan utama di Jakarta. “Jadi, daerah hanya mendapat bagi hasil. Sedikit sekali. Tidak usah disebut.”Meski demikian, Arsal juga punya kebun sawit sekitar empat hektar. “Tidak banyak. Itu ditanam sejak awal, dari bapak (Aras),” katanya.   ***Sekitar satu km, dari kediaman Aras, seorang buruh harian dari PT Badra Sukses, sedang memanen. Dia ditemani anaknya yang sedang libur sekolah. Dia berjalan membawa galah besi di bagian ujung ada celurit.Ketika tandan buah itu menghempas, dia kembali mengaitkan galah di pelepah daun dan menariknya. Di tanah, pelapah itu ditebas pakai parang. Anaknya dengan tombak menikam tandah buah dan menaikkan ke troli. Setelah lima atau enam tandan, dia angkut ke tempat pengumpulan di sisi jalan utama.Buruh itu tak ingin disebut namanya. Dia khawatir, kemudian hari ada masalah. Baginya, jadi buruh sawit adalah pilihan tepat. Penghasilan setiap bulan Rp2,5 juta. Sekali setahun mendapat tunjangan hari raya, dan beberapa bulan sekali bonus. “Jadi, kalau dapat bonus, bisa Rp2,7 juta,” katanya.Buruh-buruh ini bekerja hampir saban hari. Setiap pagi hingga menjelang magrib. Mereka membersihkan dan memanen sedikitnya empat hektar. “Saya tak punya lahan, mau tak mau harus bekerja seperti ini.” Polusi limbah sawit
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'perusahaan' 'politik']
[0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Seratusan kilometer ke Desa Tawiora, Donggala, seorang warga dari Desa Polanto Jaya, menemani saya. Pakai sepeda motor, dia meliuk memasuki perkebunan sawit PT Letawa dan PT Lestari Tani Teladan (LTT). Di jalan kerikil luas, kami melewati kubangan tempat pembuangan limbah perusahaan. Limbah sudah jadi serbuk hitam dan aroma tak lagi begitu menyengat.Berbeda kala melewati kebun musim penghujan. Dia pakai masker tetapi bau busuk tetap tercium.Selama 15 hari berkeliling dari Mamuju Tengah, Mamuju Utara, hingga Rio Pakava, saya menemukan aroma serupa di sekitaran PT Pasang Kayu–juga anak perusahaan Astra Agro Lestari.Tawiora, merupakan desa paling ujung di Donggala. Desa ini berbatasan dengan Pasang Kayu. Patok batas provinsi untuk Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, juga di tempat ini. Berdiri dengan tembok berwarna putih sekitar 20 meter dari bibir Sungai Lariang.Tawiora, sebelumnya desa nan sejuk. Sejak terjadi perubahan bentangan dari pohon-pohon besar beraneka ragam jadi sawit, membuat kesejukan bagai tertelan.Penduduk yang dulu bermukim beberapa ratus meter dari bibir sungai, terdesak menuju pinggiran sungai. Kampungnya, sudah jadi HGU dari LTT.Halaman depan, halaman belakang, samping rumah, ada sawit. “Kami tidak lagi punya tanah,” kata Idris Buka, warga setempat.Awal 2019, Mursin bagian dari tim desa yang pengukuran untuk program proyek operasi nasional agraria (Prona).Dia bersama tim BPN/ATR membentang meteran dan memastikan lahan masyarakat. Hasilnya, nihil. Semua tempat adalah HGU perusahaan. “Jadi, kami mau bilang apa? Mungkin karena desa kami jauh dari tersembunyi, maka tak diperhatikan,” katanya.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'kebijakan' 'lahan' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Di tepi Sungai Lariang, kami berdiri dan melihat arus air yang bergerak cepatt, tetapi lembut. Warnanya coklat bercampur lumpur. Ada dua rumah warga yang hanya tersisa pondasi dan puing yang hancur. Lariang, menghanyutkannya dengan cepat. Sisi sungai ini juga dikenal dengan nama pangkalan – merujuk pada aktivitas – pendaratan kayu-kayu ilegal.Bantalan-bantalan balok yang terendam dengan ikatan-ikatan kuat dari rotan yang ditarik dengan perahu dari hutan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Di Towiara, balok itu diolah di rumah-rumah produksi sawmil. Kampung ini juga dikenal dengan sebutan kampung logging.“Kami mau berkebun, tapi lahan sudah diambil oleh perusahaan,” kata, salah seorang warga.   ***Di Kampung Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Pasang Kayu, seorang pria berusia 73 tahun, duduk di kursi ruang tamu. Dia menghadap ke pintu utama rumah. Namanya, Lamisi. Sudah dua kali dia masuk penjara karena tuduhan menyerobot dan mencuri buah sawit milik PT Letawa.Tanah itu, dia kelola sebelum perusahaan datang. Dia menanam padi, jagung dan kakao. Beberapa petakan juga ditanami sawit, ketika perusahaan datang. Letawa, yang datang belakangan lalu mengklaim kalau lahan Lamisi bagian dari HGU. “Orang-orang perusahaan datang, lalu tebang pohon cokleat (kakao),” katanya.“Saya ke pak desa mengadu. Sebab, lahan itu ada surat-suratnya dan ditandatangani pemerintah desa. Saya kecewa sekali,” katanya.Lamisi punya luas lahan garapan sekitar 15 hektar. Lahan itu untuk pengembangan penduduk dan masing-masing rumpun keluarga mendapatkan jatah dua hektar. “Jadi, 15 hektar itu, ada bagian dari keluarga,” kata Lamisi.Di kantor desa, pemerintah membuat kesepakatan secara verbal. Lamisi boleh menduduki lahan itu. Tahun 2012, dia menanam sawit tetapi perusahaan masuk dan menanam sawit di sela tanaman lain.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Ketika tanaman berbuah dan mulai panen, nahas bagi Lamisi, perusahaan membuat laporan ke kepolisian Mamuju Tengah. “Saya dituduh mencuri di lahan sendiri. saya dipenjara empat bulan dengan anak saya,” kata Lamisi.Ketika keluar dari penjara, dia tetap bersikukuh kalau lahan dengan surat dan pajak lengkap yang dimilikinya bukti hukum sah. Dia tetap menggarap. Tahun 2018, saat panen sawit kembali, dia kembali tertuduh sebagai pencuri sawit perusahaan.“Saya ditangkap malam. Saya sedang sakit dan tidak bisa gerak. Saya bilang, kenapa harus ditangkap malam, saya lagi sakit. Polisi bilang akan bawa ke rumah sakit, tapi saya dibawa ke kantor polisi,” katanya.Lamisi mengenang peristiwa itu. “Saya keluar penjara, saya masuk lagi ke kebun saya. Saya tahu, laporan perusahaan sudah masuk lagi ke polisi. Mungkin beberapa waktu ke depan, saya ditangkap lagi. Saya tidak akan berhenti. Itu kebun saya, kenapa mereka mau ambil.”Di Kampung Lariang, rumah Lamisi, beberapa rumah warga berada di sisi jalan utama Mamuju Tengah menuju Mamuju Utara. “Orang baru tahu, kalau rumah mereka dan sekolah masuk wilayah HGU perusahaan,” katanya.“Dulu ada banyak orang menggadaikan sertifikat ke bank untuk akses modal usaha. Warga dapat dan bank memberi pinjaman. Tahun 2019, saat pinjaman mau lanjut, bank sudah tidak mau lagi, karena sertifikat itu katanya sudah masuk HGU Letawa,” kata Muliadi, warga lain.“Ini ada apa? Sebelumnya kami bisa akses ke bank. Sekarang tidak lagi. Jadi baru-baru ini ada penambahan HGU kalau begitu.”Letawa, adalah anak perusahaan Astra Agro Lestari yang memiliki izin di Sulawesi Barat. Beroperasi pada 1995, dengan luas lahan 7.101 hektar.“Di adendum amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red), mereka punya luasan 7.000 hektar. Harusnya, pemerintah turun cek. Tahun 2010, rumah kami dan kampung ini masih di luar HGU. Tahun 2018, kenapa tiba-tiba masuk? Apakah ini lahan siluman?” kata Muliadi.  
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan' 'konflik' 'pertanian' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Sekitar 10 km dari Lariang, di Kampung Baras, Hukma, sedang demam. Malam itu pria 48 tahun ini masih menggigil. Beberapa bulan sebelumnya, dia baru saja keluar penjara, karena kasus pemukulan karyawan perusahaan Letawa.“Saya ikat di sawit dan pukul dia,” katanya.Ini kali kedua dia masuk penjara. Pertama kali mendekam di jeruji besi karena menikam mandor perusahaan. “Saya kasi begitu, karena mereka masuk ke kebun saya. Itu tanah kami. Keluarga kami sejak dulu beraktivitas di tempat itu. Kami menanam kakao, durian dan langsat.”“Mereka datang mengklaim. Saya sudah capek. Jadi, saya akan melakukannya lagi kalau mereka masih akan merebut lahan keluarga kami,” katanya.Bagi Hukma, tetap berdiam diri dan melihat tanah dikuasai perusahaan adalah kesalahan. “Kami makan, tidak mengemis. Sekarang ada perusahaan, ada banyak bank, tapi tak bisa disentuh.”Hukma, bagian dari rumpun Suku Kaili Uma’. Leluhur mereka membangun pemukiman dan tempat berladang di kawasan yang diklaim perusahaan. Mereka menggembala sapi, yang lepas bebas. Ketika komunitas memerlukan, orang-orang akan masuk hutan bersama-sama mencari sapi. Masing-masing keluarga menandai sapi mereka dengan sayatan di telinga. Ada dua sayatan, satu sayatan, atau tiga sayatan. Sapi tak akan tertukar.Hutan pada masa itu adalah tempat bertualang dan rumah hidup bagi warga. Ada rotan, jadi kerajinan tangan dan lain-lain. “Sekarang, harus beli. Semua serba uang sekarang,” kata Hukma.Rumpun suku lain, adalah Kaili Tado, di Kampung Kabuyu. Mereka adalah masyarakat yang ditelan hamparan sawit milik PT Mamuang. Dua pekan sebelum kedatangan saya di akhir Juni, sebanyak 137 keluarga menerobos masuk konsesi perusahaan dan menduduki kembali lahan peremajaan yang baru ditanami sawit.
['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'politik']
[0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06]
Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit | Luas lahan sekitar 600 hektar. Warga membangun pondok hunian sementara. Mereka membawa keluarga dan tinggal di kawasan itu. “Ini lahan pertanian penduduk sebelum perusahaan itu datang. Di sini, tempat tumbuh sagu kami,” kata Anta, seorang warga.Di sela sawit baru perusahaan, warga menanam jagung. “Kita akan saling jaga toh, perusahaan menjaga tanaman sawit, kami menjaga jagung kami,” katanya.Di tanah hamparan pendudukan itu, ada kuburan tua dari rumpun Kaili Tado. Perusahaan tak menggusur sepenuhnya, walau semua tanaman habis.Bobu Pea, melihat penebangan sagu ketika perusahaan masuk. Dia melihat bapak dan keluarganya menangis, tak bisa berbuat apa-apa karena perusahaan dikawal tentara.Setelah sagu, mereka juga ikut merobohkan kakao dan kelapa di dekat kampung. “Semua orang tidak bisa melawan. Kami hanya dijanjikan bekerja di perusahaan tapi tak pernah terjadi,” kata Bobu.Mongabay berusaha mengkonfirmasi berbagai persoalan ini kepada perusahaan. Pada 23 Juli lalu, Mongabay mengirimkan pesan permintaan wawancara kepada Teguh Ali, Community Development Area Manager (CDAM) Celebes ! PT Astra Agro Lestar.“Selamat sore, Klu ada kesempatan kita bertemu, kita bicara,” kata Teguh, dalam balasannya. Pada 2 Agustus 2019, Mongabay, mencoba menghubungi kembali Teguh, tetapi tak mendapatkan jawaban. ***‘Pendudukan’ warga terus berlanjut. Perusahaan memasang pengumuman di tempat itu. “DILARANG MENGELOLA LAHAN HGU TANPA SE IZIN PT MAMUANG.” Begitu bunyi pengumumannya.“Tidak apa-apa. Nanti kami pasang juga, larangan mengelola lahan warga tanpa izin,” seloroh Anta. Keterangan foto utama:  Warga di Kampung Kabuyu, menduduki kembali lahan yang dulu tanah-tanah keluarga mereka yang sudah jadi konsesi perusahaan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia  [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'perusahaan' 'politik']
[0.5366199016571045, 0.45439717173576355, 0.008982938714325428]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | [CLS]    Komunitas Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah, 29-30 Juli 2019 punya gawe. Mereka menerima rombongan kecil organisasi non pemerintah bidang riset dan advokasi hak asasi manusia dari Jakarta.Di tengah kesibukan melayani tamu, Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan, dan Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, menerima undangan dari Kantor Staf Presiden (KSP), via pesan Whatsapp. Isi undangan, rapat koordinasi penanganan konflik agraria Laman Kinipan, di Jakarta Jumat, 2 Agustus 2019.Sinyal seluler sulit di sana, pesan undangan itu tak serta-merta cepat mereka terima. Waktu mepet dan biaya tiket pesawat mahal, sempat membuat mereka berpikir panjang. Meskipun begitu, mengingat pentingnya pertemuan ini, mereka memutuskan berangkat.Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat MerekaDaftar undangan menyebutkan menghadirkan para pihak, ada Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati Lamandau, dinas-dinas terkait provinsi dan kabupaten. Para direktorat jenderal dari kementerian terkait juga masuk dalam undangan.Bagi mereka, acara ini strategis untuk menyelesaikan sengketa lahan mereka dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Warga Dayak Tomun di tepi Sungai Batang Kawa Lamandau ini melawan usaha SML buka kebun sawit ke hutan adat Kinipan, sejak awal 2018.“Paling tidak, aktivitas perusahaan berhenti dulu. Saat ini, bukan rimba lagi, mereka sudah masuk babas (hutan eks ladang yang banyak pohon buah-red),” kata Buhing.Kamis (25/7/19), sebelum mereka terima tamu dari Jakarta, warga adat Laman Kinipan, mengusir eksavator perusahaan yang tengah membabat hutan. Mereka lalu memasang apa potas, sebuah tali pantangan. Secara adat potas tak boleh dilanggar.Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang
['masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'pendanaan' 'pertanian' 'politik' 'tambang']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | Mereka merekam ritual adat ini, dan menyebarkan melalui media sosial. Tercatat lebih 42.000 pasang mata yang menyaksikan video ini di laman Facebook Save Kinipan.  Bupati dan gubernur absenAkhirnya, lima perwakilan Kinipan, berangkat. Ada Hengki dan Buhing, juga Ketua PD AMAN Lamandau, dan dua warga Laman Kinipan.Apa yang terjadi setelah pertemuan itu berlangsung? “Pertemuan ini sebenarnya tak memuaskan bagi kita. Mengingat bupati, gubernur tidak datang,” kata Hengki, setelah pertemuan di KSP.“Sangat disayangkan. Padahal, itu rapat koordinasi. Semua pihak harus datang. Supaya jelas, terang-benderang. Penjelasan semua pihak, baik masyarakat atau bupati sangat-sangat diperlukan. Ini supaya percepatan penyelesaian konflik tidak berkepanjangan,” kata Kepala Desa Kinipan yang baru menjabat kurang setahun ini.Warga kecewa karena orang-orang dari daerah, dari gubernur, bupati sampai dinas tak ada muncul. “Kalau di KSP, dirjen-dirjen yang diundang hadir,” kata Buhing.Baca juga: Warga Kinipan Tanam Pohon di Hutan Adat yang Terbabat SawitPemerintah daerah tak hadir, tuntutan jangka pendek Kinipan agar babat hutan dan babas alias pembersihan lahan (land clearing) oleh perusahaan setop, tak menemukan jawab.Buhing bilang, KSP merasa bukan dalam kapasitas menghentikan land clearing. “Dibilang orang KSP, itu kewenangan pemerintah daerah. Kita tidak punya penekanan gimana. Keinginan kita, itu dihentikan!”Buhing bilang, KSP berjanji menggelar pertemuan lanjutan dengan menghadirkan bupati, gubernur dan instansi terkait lagi. “Mereka hanya akan memfasilitasi. Ada penekanan betul-betul bupati dan gubernur harus bisa hadir dalam pertemuan selanjutnya. Artinya, akan ada pertemuan lagi.”Warga Kinipan tetap berkeras, land clearing setop terlebih dahulu, terlebih sudah jauh masuk ke wilayah Kinipan. “Okelah, ada beberapa kali pertemuan. Tolong hentikan (land clearing-red) ini dulu. Itu maksudnya!”
['Aparatur Sipil Negara' 'konflik' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | Pada Oktober tahun lalu, KSP juga pernah menggelar pertemuan dengan perusahaan dan Bupati Lamandau. Pertemuan menyusul setelah lebih 200 orang Kinipan, turun gunung, menggeruduk DPRD Lamandau di Nanga Bulik. Saat itu, tak ada perwakilan Kinipan hadir di KSP. Kali ini, kala menerima undangan dari KSP memutuskan datang, malah pemerintah daerah semua absen.   HGU di luar KinipanKendati belum melahirkan solusi, Kinipan merasa pertemuan Jumat (2/8/19) itu memberikan informasi penting soal hak guna usaha (HGU) SML. Dalam pertemuan itu, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menginformasikan, HGU SML tak masuk sampai ke Kinipan.“Ada kejelasan dari ATR BPN bahwa Kinipan secara izin HGU tidak masuk, 9.000 hektar itu Kinipan tidak masuk. Koperasi Kinipan pun tidak ada terdaftar. Katanya ada plasma. Plasma kan koperasi. Nah, ada 5.000 hektar katanya plasma. Tetapi didata tidak ada Kinipan,” ucap Buhing.Penjelasan bahwa, Kinipan masih di luar HGU, sebenarnya pernah disampaikan SML. Haeruddin Tahir, Chief Operation SML, menyampaikan, soal itu seperti dalam berita di Mongabay, 11 November 2018.Baca juga:   SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat KinipanDalam wawancara dengan Mongabay di Pangkalan Bun, 31 Oktober 2018, Tahir membeberkan, SML memperoleh izin pelepasan lahan 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan areal inti 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.Selanjutnya, berdasarkan pengukuran kadastral (pertanahan) BPN 13 April 2017, mereka mendapatkan lahan 17.046 hektar. Di dalam itu, untuk perkebunan inti 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan HGU seluas 9.435,22 hektar. “Semua yang sudah HGU itu areal inti. Yang plasma izin lokasi, pelepasan, dan kadastral,” ucap Tahir, kala itu. Tumpang tindih izin dengan wilayah adat
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'penelitian' 'perusahaan']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | Pada pertemuan Senin (4/8/19) di Ruang Rapat PPAT Kementerian ATR-BPN, Kinipan diwakili organisasi pendamping mereka, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).Dalam pertemuan dipimpin Husaini, Direktur Pengaturan Pendaftaran Hak Tanah, Ruang dan PPAT, Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrarian, Kementerian ATR-BPN, itu menyatakan, pengukuran terhadap permohonan HGU SML pada 13 April 2017. Hasil pengukuran itu lantas verifikasi panitia B pada 9 Mei 2017. Pada 9 Agustus 2017, SK HGU SML terbit, terbagi atas HGU inti 9.000 hektar dan plasma 5.000 hektar.Kasmita Widodo, Kepala BRWA, dalam pertemuan itu juga tumpang susun (overlay) peta wilayah adat Kinipan dengan peta perizinan milik SML. Hasilnya, ada tumpang tindih HGU inti seluas 2.235 hektar plus 390.1 hektar dan plasma 343,8 hektar plus 720.2 hektar masuk dalam wilayah adat Laman Kinipan.Berdasarkan catatan hasil pertemuan BRWA, AMAN dan Walhi., ATR-BPN menanyakan status hukum wilayah adat Kinipan. ATR-BPN juga bilang, saat proses pengukuran batas desa, melibatkan masyarakat setempat.Kasmita mengatakan, peta Kinipan dibuat dengan menunjukkan batas-batas jelas, seperti nama tempat, pohon madu dan lain-lain. “Sementara batas-batas desa yang dibuat dan ditunjukkan desa lain tidak jelas,” katanya, melalui pesan singkat, Sabtu (10/8/19).Dia juga menyebut desa-desa yang berbatasan dengan Kinipan sudah bersepakat soal batas. Pengecualian dengan Desa Karang Taba, Kecamatan Lamandau. Karang Taba merupakan salah satu dari 12 desa yang masuk dalam rencana pembukaan lahan sawit SML.Pada 28 Januari 2019, Bupati Lamandau telah memutuskan batas antara Kinipan dan Karang Taba itu.
['pertanian']
[0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | Keputusan ini tidak diterima Kinipan, karena menganggap proses belum selesai. Keputusan itu, tak saja tidak sesuai klaim mereka, juga menggugurkan kesepakatan dengan beberapa desa lain yang sudah tertuang dalam berita acara. “Bupati telah mengambil keputusan sepihak tanpa proses semestinya dalam penataan batas desa,” kata Kasmita.Bupati Lamandau, Hendra Lesmana, dalam tulisan di Mongabay awal tahun itu, menyatakan, bertindak sesuai UU Nomor 6/2014 tentang Desa, dan telah menerima pelimpahan dari desa.“Apabila desa dan desa di dalam satu kabupaten tidak bisa menyelesaikan bersama, tentu dengan ketentuan peraturan dilimpahkan ke bupati. Bupati yang akan mengambil keputusan dan penegasan,” katanya.Soal putusan Bupati Lamandau, Kinipan, sampai kini belum tahu tertuang dalam bentuk apa. “Produknya apa? Perbup atau SK Bupati? Jadi terakhir kutanya Bagian Pemerintahan Setda Lamandau, mereka bilang, ini perbup bentuknya. Ini diverifikasi di Biro Hukum Provinsi, memerlukan waktu tahunan,” kata Hengki.Sukarelawan Abadi, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah, Lamandau menyatakan, betul perbup masih verifikasi di Bagian Hukum Pemprov Kalteng.“Iya, tapi belum tahu, enggak mungkinlah sampai tahunan, mudah-mudahan cepat terealiasi. Yang jelas masih dalam proses,” katanya, via telepon, Selasa (12/8/19).  Tanggung jawab pemerintahDi luar kontroversi soal batas desa, izin lokasi dan pelepasan kawasan pada SML diakui sampai wilayah Kinipan. Berdasarkan pertemuan dengan ATR-BPN, Kasmita menyampaikan, IUP SML 26.000 hektar. Senada pernah disampaikan SML.Dalam wawancara dengan Mongabay, 31 Oktober 2018, Bobi Lawi, project manager SML mengatakan, Kinipan masuk konsesi perusahaan berupa izin lokasi dan pelepasan kawasan.“Kalau dari peta Kinipan enggak masuk kadastral. Pelepasan masuk, izin lokasi masuk. Cuma di kadastral tidak masuk,” katanya.
['penelitian']
[0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492]
Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka | Keterangan ini, jadi penjelas kenapa terjadi tumpang-tindih peta izin perusahaan dengan wilayah hutan adat Kinipan. Satu sisi, perusahaan memperoleh izin dari pemerintah untuk menjalankan usaha, meski Kinipan merasa tak pernah memberi persetujuan. Sedang, usulan Kinipan mengamankan hutan melalui skema adat, belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah.Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berkomentar. “Pemerintah harus segera identifikasi secara partisipatif untuk menentukan bersama batas wilayah Kinipan sesuai sejarah asal-usul. Itu tanggung jawab pemerintah. Tidak tepat pemerintah tak tanggung jawab lalu Kinipan kemudian jadi korban.” Keterangan foto utama:    Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo     [SEP]
['konflik' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.476456880569458, 0.5139302611351013, 0.009612822905182838]
Saat Menteri, KPK dan Musisi Suarakan Kasus Lingkungan di Gedung DPR. Begini Ceritanya.. | [CLS] Gemuruh lagu mars Bali Tolak Reklamasi dan lagu untuk para perempuan pegunungan Kendeng, Jateng, yang terus berjuang menjaga kelestariannya berkumandang di dalam gedung DPR, Jakarta. Gerakan penyelamatan lingkungan dari ancaman eksploitasi teluk dan area sumber air ini sudah berlangsung beberapa tahun sampai kini.Saat digelorakan, para pimpinan DPR dan MPR serta sejumlah menteri pada acara peringatan “20 Tahun Reformasi: Kembali ke Rumah Rakyat” ini sudah meninggalkan tempat acara pada Selasa malam (08/05/2018) ini. Hal ini membuat penonton menyeruak ke depan sampai ke atas panggung untuk menggemakan bersama Jerinx dari band Superman Is Dead (SID) dan band Marjinal.Mereka mengepalkan tangan kiri dan menyanyi bersama disisa waktu acara yang dihelat Tempo Media Group bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 7-21 Mei 2018. Jerinx dan Marjinal tampil kembali di penutup acara, namun sebelum mereka tampil seluruh pejabat dan artis sudah dipersilakan ke panggung untuk foto bersama. Usai selebrasi foto ini, para pejabat ini meninggalkan lokasi.“Semoga pengambil keputusan masih di sini. Tak ada suatu kaum merampas hak hidup,” sebut Jerinx sebelum duet dengan band Marjinal menyanyikan lagu tentang perayaan keberagaman di Indonesia.baca : Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Bagaimana Capaian Reforma Agraria?  Dilanjutkan dendang Marsinah dari Marjinal, tokoh perempuan pemberani yang menginsipirasi nama band ini. “Semoga malam ini mengingatkan kita perjuangan masih panjang,” ujar Mike Marjinal. Ia juga berkali-kali mengajak penonton berteriak, “Kendeng Lestari. Hidup Kendeng.” Para petani perempuan dari Kendeng yang kerap disebut Kartini Kendeng dan Marsinah adalah legenda dan suara-suara perlawanan.
['konflik' 'penyelamatan lingkungan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608]
Saat Menteri, KPK dan Musisi Suarakan Kasus Lingkungan di Gedung DPR. Begini Ceritanya.. | Puisi dan musik adalah menu utama peringatan tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 yang dipimpin mahasiswa dengan menduduki gedung DPR. Sebuah puisi berjudul Sajak Bulan Mei karya WS Rendra membuka pesta sastra dibacakan bergantian oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPR Bambang Soesatyo.“Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja. Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan. Amarah merajalela tanpa alamat. Ketakutan muncul dari sampah kehidupan. Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah. O, jaman edan! O, malam kelam pikiran insan! Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan. Kitab undang-undang tergeletak di selokan. Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan. O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!” Demikian potongan sajak yang lengkapnya cukup panjang dan membuat bulu kuduk berdiri. Rendra membacakan saat ikut aksi warga dan mahasiswa pada 1998 ini. Karya ini memulai dengan jelas apa yang ingin disuarakan dalam peringatan ini. Menggedor pilar-pilar beton gedung wakil rakyat.baca : Bercermin dari Kasus Kendeng, Sulitnya Warga Peroleh Keadilan Lingkungan  Puisi-puisi selanjutnya juga mengalir mengingatkan apa saja peristiwa kekerasan negara yang masih belum dibongkar. Reza Rahardian dan Morgan Oey menyuarakan ketertindasan dan kemiskinan dari karya-karya Widji Thukul yang sosoknya masih belum ditemukan.Berlanjut suara bergetar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi karya Sapardi Djoko Damono berjudul Dongeng Marsinah. Buruh perempuan yang dibunuh dan kasusnya juga tak selesai.Agus Rahardjo, Ketua KPK membacakan puisi hilangnya sumberdaya petani berjudul Tanah karya Widji Thukul. “Reformasi telah melahirkan ketetapan MPR menciptakan pemerintah bersih dari KKN, salah satunya UU KPK dan Tipikor. Saya ingin berpesan siapa yang ingin membubarkan KPK, mengkhianati reformasi,” katanya sebelum membacakan sajak singkat ini.
['konflik' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Saat Menteri, KPK dan Musisi Suarakan Kasus Lingkungan di Gedung DPR. Begini Ceritanya.. | Musisi dan aktivis Jerinx SID memilih mendendangkan lagu dari gubahan karya almarhum bu Pasek, seorang perempuan korban kekerasan dampak G30S/PKI 1965 di Bali. Lagu “Di Kala Sepi Mendamba” ini masuk dalam kompilasi album Prison Songs karya komunitas anak muda Taman 65. Ditulis dalam penjara di sebuah penjara, sebuah surat cinta untuk suaminya.“Malam yang aneh, tidak biasa berdiri di sini. Sebuah bangsa yang besar selalu ditentukan sejarahnya, kadang sejarah ditulis pemenang tak semua pemenang bukan individu yang benar,” seru Jerinx membuka. Menurutnya perlu banyak yang dibuka kembali karena distorsi sejarah.Lagu kedua yang diciptakan Jerinx saat surfing di Pantai Kuta disebutnya tentang ketidakadilan. Jadilah Legenda, lagu ini memantik koor pengunjung yang didominasi anak muda. “Kami tak ingin laut kami jadi lautan beton,” teriaknya menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa.baca : Ketika Tolak Reklamasi Teluk Benoa Jadi Komoditas Pilkada Bali  Puisi-puisi selanjutnya tak kalah tajam dan dalam menyenggol penguasa rakus. Misal Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando dan Bupati Bekasi Neneng Hassanah membacakan karya berjudul “Puisi itu Adalah” karya WS Rendra. “Politisi mencintai rakyat, di hari libur mereka pergi ke Amerika, mereka berkata penyambung lidah rakyat. Kadang mereka anti demokrasi, kadang mereka menggerakkan demokrasi,” demikian nukilannya.Sajak berjudul Peringatan karya Widji Thukul dibacakan aktor Lukman Sardi, karya ini langganan dibacakan para demostran. Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membacakan karya Widji Thukul berjudul Bunga dan Tembok. Sebuah karya sangat tajam merefleksikan kekuatan alam. Diumpamakan seperti sebuah biji yang mampu tumbuh, berdaun lebat, berakar kuat, membelit, dan merubuhkan tembok.
['lahan' 'pendanaan' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'politik' 'hewan terancam punah']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Saat Menteri, KPK dan Musisi Suarakan Kasus Lingkungan di Gedung DPR. Begini Ceritanya.. | Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi Tempo ketika membuka acara ini mengatakan acara ini diusulkan Tempo ke DPR. Saat ini di redaksi Tempo hampir semua wartawan pasca reformasi 98. Pada 1994 Tempo dibreidel Orde Baru lalu setelah Presiden Suharto tumbang saat Habibie diangkat jadi presiden, terbit kembali.Tim Tempo sengaja memilih karya yang bernada gugatan dan diproduksi sekitar 98. Muncul karya yang paling banyak dibacakan dari Widji Thukul, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardzi Calzoum Bachri, Mustafa Bisri, dan Joko Pinurbo.Selama 7-21 Mei 2018 juga ada diskusi publik Kiprah Aktivis ’98 sebagai Anggota DPR, Pameran Foto Reformasi, Diskusi Publik Anak Muda di Era Reformasi, dan Peringatan Malam Refleksi 20 Tahun Reformasi.  [SEP]
['lahan' 'penelitian' 'politik' 'hewan terancam punah' 'sampah']
[0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606]
Setelah Cabut Izin PT MMP, Saatnya Pemerintah Pulihkan Lingkungan Pulau Bangka | [CLS]    Ulva Novita Takke, tak bisa menahan airmata. Pendiri Yayasan Suara Pulau Bangka ini tercekat saat berbicara soal kemenangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, melawan perusahaan tambang PT. Mikgro  Metal Perdana (MMP). Kemenangan terwujud dengan pencabutan izin operasi produksi MMP oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, 24 Maret lalu.“Bisa dibayangkan saat berita ini kami bagi dengan teman-teman di sana, seneng banget. Perjuangan ini, panjang sekali. Maju mundur, jatuh bangun. Sampai ada yang harus di penjara, berantem dengan saudara sendiri,” katanya, awal April lalu di Jakarta.Meski bukan asli Bangka, Ulva lebih 11 tahun hidup di pulau kecil itu.  Kemenangan ini mengingatkan Ulva awal mula gerakan warga menuntut pemerintah membatalkan izin MMP lima tahun silam.Meski dari awal persidangan, warga menang, namun tak mudah membuat pemerintah tunduk pada putusan pengadilan.“Sempat mau menyerah, capek. Bagaimana lagi, itu rumah kami, tempat tinggal kami, kami nggak punya pilihan lain. Kalau itu ditambang kemana lagi harus pergi?”Kenangan perjuangan mempertahankan Bangka dari perusahaan tambang juga hadir dalam penuturan pentolan band Slank, Akhadi Wira Satriaji alias Kaka.Si pehobi menyelam ini, seketika jatuh cinta pada Bangka saat diving di perairan itu. “Mendengar pulau ini akan ditambang seperti ada petir tengah hari,” kata Kaka.Sejak itu, dia ikut membantu perjuangan Ulva dan warga Bangka. Kaka bikin petisi di change.org yang ditandatangani hampir 30.000 orang.“Terima kasih buat yang udah tandatangan petisi. Kayak jam 12 minum air es, I am happy…” Meskipun tambang belum mengeruk hasil, tetapi kerusakan sudah terjadi hingga pemerintah perlu segera memulihkan pulau ke kondisi semula.Menyambut kemenangan ini Kaka berniat ‘manggung’ di Pulau Bangka menghibur warga yang trauma dengan sengketa ini.
['politik']
[0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425]
Setelah Cabut Izin PT MMP, Saatnya Pemerintah Pulihkan Lingkungan Pulau Bangka | “Aku musti nyanyi di sana. Supaya orang datang lagi ke Pulau Bangka dan ikut mencintai pulau itu,” kata Kaka.Surat pencabutan izin diterima salah satu perwakilan Koalisi Save Bangka Island, Jatam, 30 Maret 2017. Surat diantar langsung Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid.Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ESDM mengatakan, setelah pencabutan izin status lahan 2.000 hektar konsesi MMP kembali kepada pemerintah. Namun, katanya, tak perlu ada pemulihan lingkungan karena izin baru sebatas eksplorasi.“Kan belum nambang, belum ngapa-ngapain. Eksplorasi nggak besar dampaknya. Kalau tambang baru besar. Eksplorasi nggak ada (dana) jamrek (jaminan reklamasi-red),” katanya. Pastikan tak ada izin baruMerah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional, mengatakan, surat pencabutan izin harus diikuti penegakan hukum dan pemulihan lingkungan. Penegakan hukum, katanya,  akan jadi yurisprudensi tonggak penyelamatan pulau-pulau kecil lain di Indonesia.“Karena lobi-lobi perusahaan masih berlangsung sampai sekarang bahkan ke tingkat menteri,” katanya.Perusahaan, harus bertanggungjawab terutama kerusakan lingkungan akibat infrastruktur yang mereka bangun, yang membuka hutan, mengganggu masyarakat adat hingga mereklamasi pantai.Pemerintah, katanya, juga harus memastikan tak ada izin baru di Pulau Bangka. “Jangan sampai di pusat sudah cabut ada pemberian izin baru di daerah lewat rencana tata ruang dan tata wilayah dan perda zonasi wilayah. Mestinya ini terakhir, tak ada lagi izin baru.”Menurut Merah, penting mengembalikan kegembiraaan dan ketentraman warga yang mengalami trauma psikologis akibat gesekan pro kontra pertambangan.
['inovasi' 'tambang']
[0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987]