text
stringlengths
132
2.01k
tags
stringlengths
4
209
label
stringclasses
111 values
Menjual Pulau demi Kepentingan Pribadi | Selain di Kaltim, nama Abdul Gafur juga mulai dikenal luas di Sulbar melalui kekuasaan bisnis dan politik. Termasuk, dugaan pembelian pulau Malamber yang sudah menjadi sorotan publik secara nasional. Bukan saja karena Kepulauan Balabalakang merupakan kawasan konservasi perairan, tapi juga karena pembelian pulau tidak dibenarkan di Indonesia.Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menjelaskan, praktik penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia, baik kepada asing ataupun non asing, dinyatakan melanggaran konstitusi Republik Indonesia.Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”Dengan demikian, Susan menyebut kalau penjualan pulau kecil seperti di Balabalakang adalah bertentangan dengan konstituri RI, di mana pulau tidak bisa dimiliki secara perseorangan. Di dalam falsafah konstitusi RI yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak dikenal konsep kepemilikan pribadi.Menurut dia, Kepemilikan pulau kecil secara pribadi di dalam wilayah Indonesia adalah tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36, 37, 42, 43, 44 dan 45 dari UU 27/2007. Dalam UU ini juga ditetapkan bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau adalah milik publik dan tidak dapat diperjualbelikan.“Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan riset, pendidikan, dan wisata bahari,” ucap dia.Untuk itu, Susan mendesak berbagai pihak yang terlibat di dalam praktik penjualan pulau malamber untuk segera diusut dan dihukum secara tegas karena telah melanggar konstitusi Republik Indonesia. Dia berharap semua yang terlibat tidak kebal hukum, baik itu penjual maupun pembeli pulau Malamber.  Konservasi Perairan
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'krisis' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian' 'sawit' 'tambang']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Menjual Pulau demi Kepentingan Pribadi | Selain melanggar konstitusi RI, publik Indonesia menyorot tajam penjualan pulau Malamber kepada pemilik perseorangan, karena pulau tersebut menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) Bala-Balakang.Status tersebut tercatat dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 6 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2017-2037.Secara administrasi, pulau Malamber berada di Kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Namun secara geografis, pulau ini berada di Selat Makassar di lepas pantai timur Kalimantan, tepatnya di tengah-tengah antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi.Pulau Malamber menjadi bagian dari gugusan pulau Balabalakang yang terdiri dari 16 pulau dan luasnya tercatat mencapai 1,47 kilometer persegi (km2). Mayoritas penduduk yang menghuni gugusan pulau tersebut adalah suku Bajau, yaitu suku yang dikenal hidup di kawasan perairan.Pulau Malamber sendiri terbagi menjadi dua, yakni Malamber Besar dan Malamber Kecil. Malamber Besar menjadi satu dari 10 pulau yang berpenhuni di Bala-Balakang, dan Malamber Kecil menjadi bagian dari enam pulau yang tidak berpenguni pada gugusan pulau Bala-Balakang.Selat-selat yang ada di sekitar Bala-Balakang diketahui dangkal dan biasa menjadi lokasi penangkapan ikan yang utama bagi warga yang mendiami pulau-pulau tersebut. Sumber daya perikanan yang melimpah tersebut, menjadi andalan warga untuk bisa mendapatkan penghasilkan setiap hari.Tetapi, karena keindahan alam dan sumber daya perikanan yang melimpah, akhirnya tak sedikit pihak yang menginginkan untuk bisa memiliki pulau-pulau yang ada di Bala-Balakang. Salah satu buktinya, adalah penjualan pulau Malamber yang sampai sekarang masih dipersoalkan oleh banyak pihak.
['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'konflik' 'krisis' 'lahan' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian' 'tambang']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Menjual Pulau demi Kepentingan Pribadi | Di Malamber, saat ini masih ada empat kepala keluarga (KK) yang menghuni kawasan pulau bersengketa tersebut. Jumlah tersebut diketahui menyusut dibandingkan sebelumnya yang sempat mencapai 12 KK. Berkurangnya jumlah KK, disebut penduduk lokal karena faktor abrasi pantai yang terus meluas dari waktu ke waktu.Laman surat kabar lokal di Makassar, Sulawesi Selatan, Harian Fajar menulis tentang polemik yang terjadi Malamber tersebut. Dalam laporannya, harian Fajar menuliskan bahwa tak hanya jumlah penduduk yang berkurang, abrasi juga memicu terjadinya penyempitan pulau dari waktu ke waktu.Jika saat ini luas Malamber besar mencapai sekitar delapan hektare, maka merujuk pada data yang dirilis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat pada 2014, luas pulau Malamber Besar mencapai 11,88 hakter. Penyempitan yang diakibatkan ancaman abrasi itu diduga kuat menjadi alasan penduduk untuk meninggalkan pulau secara perlahan.Diketahui, persoalan pulau Malamber muncul setelah seorang warga asal Desa Sumare, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulbar, Rajab, diketahui menjual tanah kepada seseorang yang diduga kuat adalah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Luas tanah yang dijual adalah dua hektare.Mengutip lama kompas.com, Rajab menjual tanahnya dengan harga Rp2 miliar dan diberikan pembayaran uang muka sebesar Rp200 juta. Transaksi yang berlangsung pada Februari 2020 lalu hingga kini masih menjadi sengketa, karena uang sisa belum dibayarkan dan pulau dikabarkan sudah dijual seluruhnya kepada Abdul Gafur.Di sisi lain, warga yang menempati pulau Malamber menolak dengan klaim kepemilikan Rajab atas tanah di pulau tersebut. Rajab disebut juga tidak pernah tinggal di Malamber Besar atau Kecil, meskipun dia mengaku kalau buyutnya adalah orang yang pertama menempati Malamber.  [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'kebijakan' 'konflik' 'krisis' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Inilah Cara Hadirkan 30 Satwa Liar di Rumah Kita dengan Google 3D | [CLS]   Tahun lalu, Google menghadirkan fitur edukasi tiga dimensi [3D] melalui Augmented Reality [AR] yang mampu menampilkan aneka hewan tiga dimensi melalui kamera smartphone disertai suara aslinya. Fitur tersebut, bisa dimainkan lewat pencarian Google Search.Fitur ini semakin populer di tengah merebaknya pandemi COVID-19, saat orang mengurangi bepergian. Apalagi berwisata ke kebun binatang.Beberapa hari lalu, Google telah menambahkan lebih banyak satwa yang bisa dihadirkan secara tiga dimensi di rumah kita, atau dimanapun kita berada.Baca: Pernah Dikira Hoaks, Satwa-satwa Ini Adalah Makhluk Nyata  Bagaimana cara menghadirkannya?Mudah saja, kita hanya perlu mencarinya di kolom Google Search, sebagaimana panduan yang dikutip dari AndroidOver.com.Ketik “Harimau” dan Google Search akan secara otomatis menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris. Scroll sedikit ke bawah dan kita akan melihat gambar harimau 3D yang bergerak-gerak.Lalu klik di View in 3D, and kita akan dibimbing oleh kamera untuk menemukan harimau virtual di rumah kita. Setelah ketemu, kita akan menemukan harimau dalam bentuk 3D yang bergerak.Baca juga: Dapatkah Satwa Memprediksi Terjadinya Gempa?  Kita juga bisa zoom in kamera kita, atau kita dekatkan kamera kita. Nanti, kita akan melihat gambar 3D secara detil. Jangan lupa, aktifkan volumenya, karena setiap binatang akan mengeluarkan suara aslinya.Selain itu, Google juga menambahkan informasi dan fakta-fakta mengenai harimau. Sebut saja habitatnya, status konservasi di alam liar, kecepatan larinya, dan lain-lain.  Saat ini adalah 30 lebih satwa liar yang bisa ditampilkan dalam Google 3D, diantaranya:• Buaya• Ikan Pemancing• Ular Sanca Bola• Beruang Coklat• Kucing• Cheetah• Rusa• Berbagai spesies anjing• Bebek• Elang• Penguin Emperor• Panda• Kambing• Landak• Kuda• Macan Tutul• Singa• Macaw• Cumi-cumi• Rakun• Hiu• Kuda Poni Shetland• Ular• Harimau• Kura-kura• Serigala
['penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163]
Inilah Cara Hadirkan 30 Satwa Liar di Rumah Kita dengan Google 3D | Saat ini, belum semua smartphone bisa menggunakan fitur luar biasa tersebut. Untuk smartphone jenis Android, pastikan sudah ter-update dengan Android 7, dan punya kemampuan AR. Sementara untuk iPhone, perlu iOS 11 atau di atasnya, dan iPhone 7 ke atas.Fitur ini juga bisa merekam binatang-binatang tersebut yang sedang berdiri atau duduk di atas tempat tidur, meja makan, taman rumah, dan lainnya.Selamat mencoba.   [SEP]
['kebijakan' 'penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623]
Kawasan Hutan Penyangga Rusak, DAS Poboya Merana | [CLS] Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, merupakan jantung sumber air bagi warga di wilayah Kecamatan Mantikulore, Palu Timur dan sekitarnya. Sayangnya kondisinya saat ini memprihatinkan, debit dan kualitas airnya makin hari semakin menurun karena pertambangan emas juga perubahan bentang lahan. Alih-alih didominasi pepohonan, di sepanjang aliran sungai yang tersisa hanyalah padang rumput, kaktus dan beberapa tanaman perdu.Di musim kemarau, sungai Poboya terlihat kering. Di tapak sungai yang lebarnya kurang lebih 40 meter hanya terlihat bebatuan sedang dan kecil. Aliran air lebarnya hanya 1-1,5 meter saja. Di sebelah barat tampak lokasi pertambangan emas, tepat di bawah jembatan penghubung kelurahan Poboya dan Lasoani.Berdasarkan data BPDAS Palu–Poso Sulawesi Tengah lahan kritis pada DAS Poboya 1.338,14 hektar (18,31%) dari total luas DAS 7.306,40 Hektar. Saat ini, lahan yang berpotensi kritis 2.645,97 hektar (36,21%), agak kritis seluas 919,859 hektar (12,59%) dan sangat kritis seluas 595,575 hektar (8,15%).“Prinsip air, apalagi di catchment area atau daerah hulu, perakaran tumbuhan mengikat air saat hujan, disimpan. Pada musim kemarau baru didistribusikan. Kalau sudah tidak ada hutan maka tidak ada tempat penyimpanan air,” jelas pakar hidrologi Profesor I Wayan Sutapa kepada Mongabay Indonesia. Dia menyebut air yang tak tersimpan menjadi limpasan (run off) yang berakibat banjir di hilir.Jika run off tidak terjadi atau berkurang, lanjut Sutapa, maka antara musim kemarau dan musim hujan tidak jauh perbedaan debit air yang dihasilkan.“Sekarang tidak ada air, kalau musim hujan luar biasa airnya besar, karena begitu, tidak ada lagi penyimpanan air, tidak ada lagi tumbuhan. Perlu ada upaya kuat untuk ditanami kembali, dihijaukan kembali.”  Berdampak Pada Suplai Air PDAM Kota Palu
['penelitian' 'perusahaan' 'trivia']
[0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987]
Kawasan Hutan Penyangga Rusak, DAS Poboya Merana | “Memang setiap tahun ada penurunan debit air,” jelas Kepala Bagian Teknis PDAM Kota Palu, Alfian. Menurutnya, hal ini diakibatkan oleh rusaknya hulu Poboya. Dari kawasan pegunungan Poboya mengalir tiga DAS, yaitu Poboya, Vatutela dan Kawatuna.“Yang tersedia dari sumber Poboya sebenarnya cukup besar, diatas 400 liter/detik yang bisa kami kelola hanya 120 liter/detik. Itupun air permukaan,” jelas Alfian. DAS Poboya sendiri merupakan sumber air unggulan karena merupakan sumber air terbesar, dibanding sumber air lain seperti Vatutela dan Kawatuna.Dari data Profil Perusahaan Air Minum Kota Palu, potensi pada Sungai Poboya untuk pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) wilayah kota Palu yang memiliki lebar basah dihulu 4 meter dengan kemiringan 0.0404, dan berketinggian +567 mdpl, memiliki debit air 411 liter/detik.“Untuk di Kawatuna, 10 tahun lalu saat kami ukur debitnya 280 liter/detik, namun, beberapa waktu lalu saat kami melakukan pengukuran bersama dengan teman-teman konsultan hanya berkisar 260 – 240 liter/detik, bahkan pernah hanya hingga 180 liter/detik. Sedangkan, penurunan debit air yang paling terlihat jelas di DAS Vatutela,” ujarnya.  Akibatnya Rusaknya Kawasan PenyanggaPegunungan Poboya sendiri berstatus sebagai Cagar Alam dan sebagian masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya Paneki. Menurut Nahardi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, situasi Poboya saat ini kritis.“Lahan yang terdegradasi akibat pertambangan tanpa izin didalam kawasan Tahura mencapai 77 hektar,” jelas Nahardi. “Dampak penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti Mercury (Hg) dan Cyanide (Cn), itu [sumber dampak lingkungan] yang utama, walaupun laporan terakhir tidak ada lagi merkuri, tapi sianida masih digunakan,” tambahnya.Baca juga: Tahura Poboya Paneki Terusik Tambang Emas. Bagaimana Ini?
['budidaya' 'nelayan']
[0.9999998211860657, 8.479273816419663e-08, 7.769674681412653e-08]
Kawasan Hutan Penyangga Rusak, DAS Poboya Merana | Selain itu, sekitar 70% dari 7.128 hektar lahan di dalam kawasan Tahura Poboya Paneki kondisinya sangat kritis, padahal Tahura merupakan kawasan lindung konservasi dan juga kawasan tangkapan air.“Penyebabnya selain untuk tambang, lahan digunakan untuk penggembalaan ternak oleh warga sehingga terjadi deforestasi. Yang lagi marak, juga penebangan pohon untuk kayu bakar, baik untuk dikonsumsi sendiri atau diperjualbelikan. Kami menemukan spot-spot pembakaran,” ungkap Bambang Kepala UPTD Tahura Poboya Paneki. Degradasi lahan jelasnya terjadi sejak tahun 2006.Terkait usaha pertambangan yang masuk dalam kawasan, sebenarnya sudah ada aturan yang melarang aktifitas pertambangan didalam kawasan Tahura. Bambang menyebut, awalnya aktifitas penambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional, hingga berkembang besar seperti saat ini.Selain masalah pertambangan yang belum jelas kapan berhentinya, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Poboya Paneki diperhadapkan sulitnya upaya merehabilitasi dan mereboisasi kawasan yang terlanjur rusak.“Kami tanam, belum sempurna tumbuh sudah diserbu ternak warga. Dalam 1 hari sampai 3 kali masuk dan jumlah tidak main-main, sampai 150 ekor kambing. Bagaimana mau tumbuh bagus?” tanya Bambang. “Hasil hutan silakan diambil, tapi jangan merusak.”Sebagai alternatif jika krisis air suatu saat terjadi di DAS Poboya, saat ini sedang dikaji aliran air yang berasal dari Pasigala (Palu-Sigi-Donggala), yang debitnya masing cukup besar dan diharap dapat memenuhi kebutuhan air warga.“Tapi tetap saja, mudah-mudahan tidak sampai kritis begitu,” jelas Narhadi berharap. Dia menyebut, setiap perubahan, kecil ataupun besar pasti berpengaruh termasuk pada area penyangga.
['budidaya' 'kebijakan' 'perdagangan' 'hewan terancam punah']
[0.9999998211860657, 8.425171671433418e-08, 7.141517954778465e-08]
Kawasan Hutan Penyangga Rusak, DAS Poboya Merana | “Memang tidak mudah untuk melakukan rehabilitasi pada kawasan Tahura yang rusak akibat pertambangan apalagi dengan kondisi fisik biologi tanah yang cukup kering untuk menghutankan kembali. Sangat tidak mudah, tapi upaya-upaya itu harus terus dilakukan,” papar Nahardi.Kerusakan hutan, masalah deforestasi dan degradasi memang jika dibiarkan akan membawa bencana.   [SEP]
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya' 'kebijakan' 'konflik' 'nelayan' 'perdagangan']
[0.9999897480010986, 5.327978669811273e-06, 4.870696557190968e-06]
Foto: Saatnya Mandi Bagi Para Gajah…. | [CLS] Setiap hari gajah – gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) penghuni Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) terletak di provinsi Riau ini dimandikan oleh mahoutnya. Saat ini di TNTN terdapat 7 ekor gajah yang dirawat dan dilatih oleh 10 orang mahout. TNTN yang memiliki luas 38.576 hektar merupakan daerah konservasi gajah Sumatera. Data WWF menyebutkan populasi gajah dalam kawasan TNTN diperkirakan berjumlah 150 – 200 ekor.Populasi gajah di kawasan ini semakin menurun drastis dengan meningkatnya konflik antara gajah dan manusia. Salah satu upaya mitigasi konflik gajah dan manusia ini adalah dengan membentuk flying squad. Flying squad adalah tim patroli dengan menggunakan gajah yang dibentuk oleh WWF dan Balai TNTN. Tugas utama flying squad adalah melakukan patroli di batas kawasan TNTN dan menghalau gajah liar yang akan keluar dari dalam kawasan dan menggiring gajah liar tersebut kembali ke dalam kawasan.Dengan cepatnya penurunan populasi gajah Sumatera IUCN (International Union for Conservation of Nature) menaikkan status gajah sumatera dari genting menjadi kritis (critically endangered). Saat ini jumlah gajah Sumatera di alam diperkirakan antara 2.400 hingga 2.800 ekor saja, yang mana turun 50 persen dari populasi sebelumnya yaitu 3.000 hingga 5.000 individu pada tahun 2007.Riau adalah  kawasan yang memiliki tingkat kematian gajah tertinggi jika dibandingkan dengan kawasan lainnya di Sumatera. Pada tahun 2000 diperkirakan populasi gajah sumatera di Riau berjumlah 550 hingga 600 ekor namun pada tahun 2007 populasi gajah sumatera menurun drastis menjadi hanya sekitar 300 hingga 330 ekor saja. Hilangnya habitat akibat alihfungsi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan adalah masalah utama penyebab utama menurunnya populasi gajah sumatera. [SEP]
['budidaya' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'lahan' 'nelayan' 'perusahaan']
[0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425]
Gajah Dibunuh, Gading Dijual Rp2,5 Juta, Polisi Tetapkan 11 Tersangka | [CLS] Kepolisian Resort (Polres) Aceh Barat menangkap 11 orang yang diduga pelaku pembunuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di hutan berjarak enam kilometer dari Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat, Aceh awal April 2014. Gajah jantan yang diperkirakan berumur 12 tahun itu dibunuh dengan sadis dan gading hilang.Ke-11 orang itu berasal dari, lima  warga Desa Ceumara, satu dari Desa Babah Lueng Kecamatan Pantai Cermin, tiga warga Desa Seumantok,  dan dua  warga Desa Teupin Panah, Kecamatan Kawai XVI.AKBP Faisal Rivai, Kapolres Aceh Barat, dihubungi Rabu (16/4/14) mengatakan,  dari penyelidikan ke-11 tersangka mengaku selama setahun telah membunuh tiga gajah, dua di hutan Pante Ceuremen, dan satu di Kaway XVI. “Alasan mereka karena terancam dengan gajah yang sering melintas di kebun. Apalagi sudah ada warga meninggal diserang tahun lalu,” kata Faisal.Para tersangka berasal dari beberapa desa di Kecamatan Kaway XVI dan Kecamatan Pante Ceuremen. Menurut dia, mereka tim pemburu gajah yang kenal satu sama lain. Umur para tersangka berkisar antara 45-50 tahun ke atas.  Polisi menangkap mereka sejak Sabtu lalu.Di sekitar tempat tinggal tersangka ada 8-10 ekor gajah sering melintas. Mereka menargetkan bisa membunuh satu gajah lebih besar dan gading lebih panjang. Namun, yang terjerat gajah muda.Dari pengakuan tersangka gading sebesar 1,5 kilogram itu dijual kepada penadah Rp2,5 juta.  “Saat ini polisi memburu penadah warga Aceh Selatan. Kemungkinan gading sudah dibawa keluar Aceh.”Selain menahan tersangka, polisi menyita alat-alat tradisional yang dipakai membunuh gajah seperti batu, tali, besi, dan lain-lain.Genman Suhefti Hasibuan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengatakan, pembunuhan gajah ini terindikasi ada hubungan dengan perburuan gading.
['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'kebijakan' 'perusahaan']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Gajah Dibunuh, Gading Dijual Rp2,5 Juta, Polisi Tetapkan 11 Tersangka | Untuk mengantisipasi pembunuhan gajah, BKSDA Aceh mengintesifkan pertemuan dengan masyarakat desa yang kerap berkonflik dengan gajah. BKSDA telah diminta menjadi saksi ahli dalam kasus pembunuhan gajah di Polres Aceh Barat.Selama 2012,  tercatat 27 gajah mati sebagian besar karena dibunuh dengan diracun dan dijerat di berbagai kabupaten di Aceh. Dari semua kasus itu baru satu pembunuhan gajah bernama Papa Genk di Sampoinet Kabupaten Aceh Jaya pada Juli 2013 diproses hingga ke pengadilan. [SEP]
['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'perdagangan']
[0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | [CLS]     Kajian  yang keluar dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Asosiasi Petani Sawit Indonesia,  mendorong sawit jadi tanaman hutan, mereka pun bikin naskah akademik soal itu. Kajian ini pun mendapatkan respon berbagai kalangan termasuk dari pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tegas menyatakan, sawit bukan tanaman hutan. Penetapan sawit bukan tanaman hutan berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis.Agus Justianto, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK mengatakan, dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan. “Pemerintah belum ada rencana merevisi berbagai peraturan itu,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta, 7 Februari 2022.Dalam Peraturan Menteri LHK P.23/2021 juga, katanya, sawit tak masuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).Saat ini, katanya, pemerintah fokus menyelesaikan berbagai persoalan sejak beberapa dekade lalu hingga mengakibatkan ekspansif masif sawit dalam kawasan hutan yang tak prosedural dan tidak sah.Praktik kebun sawit ekspansif, monokultur, dan non prosedural di kawasan hutan, kata Agus, menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.Apalagi, katanya, hutan berfungsi ekologis tidak tergantikan. “Kebun sawit mendapatkan ruang tumbuh sendiri, saat ini belum jadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,” kata Agus.Untuk kasus sawit tidak sah atau keterlanjuran dalam kawasan hutan, katanya, penyelesaian dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Jadi, penegakan hukum dapat memberikan dampak terbaik bagi masyarakat serta hutan.
['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestri tertentu disertai komitmen kelembagaan dengan para pihak.Kebijakan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9/2021 memuat regulasi jangka benah, yaitu menanam tanaman pohon kehutanan di sela sawit.Adapun jenis tanaman tanaman kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi, katanya, harus berupa pohon penghasil hasil hutan bukan kayu(HHBK) dan pula berupa pohon berkayu dan tak boleh ditebang.  Seri sawit dalam kawasan hutan: Gelap Pajak di Kebun Sawit Dalam peraturan ini berlaku larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur. Jadi, lahan itu wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit dalam kawasan hutan produksi, kata Agus, boleh satu daur selama 25 tahun.Untuk sawit yang berada di hutan lindung atau konservasi hanya bisa satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam. “Akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.”Dalam masa kangka benah ini, katanya, wajib sesuai tata kelola perhutanan sosial, penanaman melalui teknik agroforestri disesuaikan dengan kondisi biofisik dan sosial.“Menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa peremajaan tanaman sawit selama masa jangka benah.”Dia bilang, pendekatan ini diambil sebagai jalan tengah termasuk untuk kelestarian hutan.Mereka yang menyusun naskah akademik ini seakan mau potong kompas dalam menyelesaikan masalah kebun sawit di kawasan hutan. Berbagai implikasi pun mereka sebutkan ‘kalau sawit jadi tanaman hutan’ termasuk bakal ada kenaikan hutan dratis 16 juta hektar lebih—karena kebun sawit di Indonesia seluas itu.Koalisi Eyes on the Forest pun mengapresiasi Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas penolakan ide sawit jadi tanaman hutan.
['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'konflik' 'pertanian' 'hewan terancam punah']
[0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Nursamsu dari WWF-Indonesia—bagian Koalisi EoF– mengatakan, penolakan pemerintah atas wacana sawit jadi tanaman hutan ini merupakan upaya positif memperbaiki tata kelola sumber daya alam oleh pemerintah, termasuk pemulihan hutan dan lingkungan hidup di wilayah-wilayah rentan bencana. “Kita sambut baik,” katanya dalam rilis media 8 Februari lalu.Made Ali, Koordinator Jikalahari, dari Koalisi EoF, mengatakan, di Riau, manuver sawit jadi tanaman hutan adalah mainan cukong dan mafia sawit yang selama ini mengambil keuntungan dengan melanggar hukum.Mereka juga termasuk korporasi sawit yang menerima sawit ilegal dari cukong,” katanya.Laporan bersama Kementerian Pertanian, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 menyimpulkan, bahwa 20% (3,5 juta hektar) dari total tutupan kebun sawit nasional (16,8 juta hektar) pada 2016 berada di dalam kawasan hutan.Investigasi EoF pada 2019 menemukan, tandan buah segar (TBS) yang tanam ilegal dari 43 perkebunan sawit ilegal, dibeli 15 pabrik sawit mencakup grup-grup sawit besar. Sebagian pabrik itu juga menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada enam kilang milik nama-nama besar.Tak hanya itu. Analisis EoF nyatakan, 39% dari total kebun sawit Riau pada 2020, ditanami di luar kawasan hutan namun tak memiliki hak guna usaha (HGU). Jadi, kata Made, diperkirakan antara 47% dan 86% kebun sawit Riau kemungkinan ilegal.“Kepentingan petani sawit harus diutamakan di tengah-tengah ambisi perusahaan besar sawit mendominasi tata kelola perkebunan sawit,” kata Boy Even Sembiring dari Walhi Riau juga bagian Koalisi EoF ini. Seri sawit di kawasan hutan: Jejak Sawit Gelap di Pasar Global 
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'hewan terancam punah' 'tambang']
[0.9999938011169434, 2.9159193672967376e-06, 3.2098369047162123e-06]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Pada Desember lalu, Eyes on the Forest (EoF), terdiri dari berbagai organisasi nonprofit yang mengadvokasi hutan Indonesia, melayangkan petisi yang menolak sawit menjadi tanaman hutan. Praktik perkebunan sawit selama ini dikenal sebagai pendorong deforestasi.Eyes on the Forest juga bikin petisi online di Change.org pada Desember lalu bertajuk “Pak Jokowi, Jangan Jadikan Sawit sebagai Tanaman Hutan.”Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sangat tidat tepat jadikan sawit sebagai tanaman hutan. Mengapa? Pertama, sawit itu tanaman monokultur, sementara hutan alam seharusnya beragam tanaman.Kedua, sawit tak bisa menggantikan fungsi hutan untuk menyimpan air dan mengatur tata kelola air daerah aliran sungai (DAS). “Sawit sama sekali tidak menghasilkan kasa ekosistem yang sama dengan hutan. Malah sawit membutuhkan banyak sekali air jadi malah bikin tanah kering,” katanya.Ketiga, alasan jadi tanaman hutan untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih perizinan malah absurd.Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia pun mengatakan, ‘perjuangan’ dari mereka yang mau jadikan sawit sebagai tanaman hutan ini modus untuk memutihkan kesalahan- kesalahan yang sudah dilakukan dalam kawasan hutan dan meningkatkan ekspansi kebun sawit di kawasan hutan.“Kepentingannya lebih pada kepentingan korporasi yang menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam industri sawit,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.Berbagai masalah tata kelola sawit di Indonesia belum selesai. Upaya jadikan sawit sebagai tanaman hutan ini kisah lama yang dibangkitkan kembali.
['konflik' 'lahan' 'pertanian' 'hewan terancam punah']
[0.9994334578514099, 0.0002822732785716653, 0.0002842268440872431]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Pada 2011, ada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengakomodasi sawit sebagai bagian dari tanaman hutan. Ia masuk dalam Permenhut Nomor 62/Menhut/II/2011 mengenai pedoman pembangunan hutan tanaman berbagai jenis pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri. Aturan yang rilis 25 Agustus 2011 dan diundangkan 6 September 2011 ini kemudian dicabut, setelah mendapat kecaman dari berbagai kalangan.Kalau tanaman sawit jadi tanaman hutan, katanya, menunjukkan ketidakberpihakan terhadap komitmen iklim dan menambah masalah baru karena akan meningkatkan perambahan kawasan hutan.Dari riset Greenpeace, ada 3,12 juta hektar masih menjadi masalah. Meskipun sudah diputihkan melalui omnibus law namun dampak sosial dan lingkungan masih belum terselesaikan.“Melegitimasi sawit jadi tanaman hutan secara konsep redundansi (menghilangkan) komitmen untuk memperbaiki tata kelola sawit,” katanya.Pemerintah memang harus menolak usulan ini, karena taruhan terhadap lingkungan sangat besar di tengah krisis iklim dan bencana pembukaan lahan dan deforestasi yang terus meningkat.Kalau sampai terjadi, katanya, juga akan menurunkan kepercayaan investor global yang sudah memiliki komitmen lingkungan terhadap pemerintah Indonesia.Uslaini, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan, kajian sebagian orang IPB itu coba menganulir semua permasalahan dan mengabaikan konflik di perkebunan sawit.“Banyak konflik seperti perampasan lahan yang tidak selesai selesai bertahun-tahun sampai hari ini,” katanya.Untuk di Sumatera Barat, katanya, ada lima kabupaten paling banyak konflik perkebunan sawit, yakni, Solok Selatan, Pasaman, Pasaman Barat, Agam dan Pesisir Selatan.Walhi Sumbar melakukan penelitian bersama beberapa peneliti dan KITLV dan mencatat 25 kasus konflik sawit mereka pantau. Walhi Sumbar memandang, kalau mengubah status sawit jadi tanaman hutan hanya memperumit masalah.
['penelitian' 'perusahaan' 'trivia']
[0.9999914169311523, 4.4660559979092795e-06, 4.169679868937237e-06]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Dari kasus yang mereka pantau, ada masalah-masalah seperti penyerobotan lahan, perusahaan melanggar peraturan, kompensasi tidak memadai, masalah ketenagakerjaan sampai skema plasma tidak transparan. Baca juga: Cabut Izin Tak Hentikan Perusahaan Sawit Buka Hutan Papua, Ini Foto dan Videonya Diki Rifqi, Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan, dalam catatan akhir tahun LBH Padang dari sektor sumber daya alam ada soal konflik sawit.Dia bilang, penyebab konflik sumber daya alam adalah perampasan lahan, kerjasama tidak dijalankan perusahaan dan ketiadaan informasi yang cukup (free, prior and information consent).Mereka memberikan lima poin rekomendasi untuk menyelesaikan konflik ini. Yakni, pemerintah membentuk tim penyelesaian konflik tingkat provinsi, melakukan review izin perusahaan perkebunan sawit di Sumbar, memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan dan mendorong penegakkan hukum pada perusahaan.Zulkifli dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari menyebutkan beberapa masalah atas naskah akademik sawit jadi tanaman kehutanan itu.Pertama, sawit adalah tanaman monukultur yang tidak dapat dipadupadankan dengan tumbuhan lain. Apabila sawit ditetapkan jadi tanaman kehutanan, maka melanggar norma hukum dan apa yang disebut dengan hutan dalam UU Kehutanan dan Undang-undang Keragaman hayati.Kedua, dalam prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil), areal hutan, gambut dan keragaman hayati adalah wilayah bernilai konservasi tinggi (high conservation value) dan proteksi alam dan mengandung stok karbon tinggi atau high carbon stock assessment. Hal ini, katanya, tak dapat beralih fungsi karena berdampak kepada peningkatan gas rumah kaca.
['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan' 'hewan terancam punah' 'trivia']
[0.5366199016571045, 0.45439717173576355, 0.008982938714325428]
Pemerintah Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan | Ketiga, aspek konflik dan hak atas tanah. Sawit adalah tanaman industri dengan dukungan teknologi dan modal, sementara masyarakat adat dan petani perlu ruang-ruang hidup untuk ketahan pangan. “Mata pencaharian mereka tergerus oleh kepentingan mendukung industri sawit.”Keempat, industri sawit merusak sistem sosial, kultur dan budaya masyarakat lokal dengan mengesampingkan fungsi-fungsi sosial dari tanah dan hutan.Kelima, ketahanan ekonomi. Sawit sangat tergantung pada pasar internasional, potensi perang dagang komoditas akan mempengaruhi ketahanan ekonomi nasional.Keenam, penyeragaman komoditas skala besar bertentangan dengan prinsip-prinsip anti monopoli.Senada dengan itu, Indang Dewata, doktor bidang ilmu lingkungan Universitas Negeri Padang juga bilang, sawit hanya jadi pemulihan minimalis.“Pemulihan lingkungan dengan tidak berniat menyelesaikannya secara utuh,” katanya.Menurut Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Negeri Padang ini, kalau melihat secara komprehensif, sawit belum banyak membawa perubahan kecuali pendapatan asli daerah per kapita. “Tapi biaya dampak lingkungan lebih besar.”  ******Foto utama:  Penebangan tanaman sawit di dalam kawasan konservasi di Sumatera Utara. Beberapa ilmuan dari IPB mengupayakan sawit jadi tanaman hutan. KLHK menolak itu. Sawit bukan tanaman hutan!  Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia [SEP]
['trivia']
[0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679]